Senin, 24 November 2014

PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN BANGSA DAN WATAKNYA






Pendahuluan

Membangun Bangsa dan Wataknya (Nation and Character Building) sebenarnya mulai dikumandangkan sebagai bagian dari program nasional bangsa dan pemerintah Indonesia sejak awal negara ini lahir di bawah kepemimpinan Bung Karno. Tapi program besar ini belum sempat diselesaikan, dan kesalahan bukan semata-mata salah Bung Karno dan para pemimpin bangsa, dan juga bukan salah rakyat Indonesia, akan tetapi memang sejak awalnya program ini tidak akan menguntungkan pihak-pihak yang menginginkan untuk menikmati kekayaan alam Indonesia beserta dengan jumlah penduduk yang melimpah (sekitar 75 juta pada saat kemerdekaan Indonesia di proklamirkan).  Sehingga agenda-agenda untuk memecah bangsa dengan berbagai upaya untuk menikmati kekayaan alamnya selalu terjadi, termasuk upaya untuk melenyapkan Bung Karno 3 hari setelah proklamasi kemerdekaan.

Pembangunan bangsa (nation building), di mulai sejak kebangkitan bangsa-dilanjutkan dengan sumpah pemuda, yang sebetulnya mengikuti logika trilogi kebangsaannya Bung Karno, yaitu kesadaran berbangsa, keinginan (cita-cita) berbangsa, dan tindakan berbangsa. Pendidikan politik sejak kebangkitan nasional, adalah pendidikan untuk menyadari bahwa melawan kolonial tidak harus dengan benturan kekuatan fisik sebagaimana dilakukan oleh berbagai perlawanan rakyat melalui perang Diponegoro, perang Padri, Perang Aceh, dan berbagai perang lain.  Perang-perang yang sifatnya lokal, tidak menyentuh rasa dan keinginan yang sifatnya nasional.  Oleh karena itu lahirnya organisasi Budi Oetomo, yang dikesankan sebagai organisasi yang lunak, organisasi priyayi, yang tidak berdaya, dan tidak cukup mengesankan sebagai kekuatan “Indonesia”, sesungguhnya adalah upaya secara cerdas dan modern pada saat itu, untuk mengorganisasi kekuatan Indonesia yang mulai sadar. 
Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908 dan momen sebelum dan sesudah itu, adalah periode menumbuhkan kesadaran berbangsa, dengan segala perspektif kemerdekaan yang asasi bagi “bangsa” Indonesia.  Selama 20-an tahun, dan mulai lahirnya berbagai organisasi pergerakan nasional, termasuk Partai Nasional Indonesia, tahun 1927, yang dipimpin oleh Bung Karno, menjadi toggak bersejarah bagi lahirnya pemahaman bahwa alat perjuangan lain yang harus dibangun adalah partai.
Kesadaran berbangsa dan berbagai alat perjuangan yang dibangun pada saat itu, merupakan pengerucutan kehendak berbangsa, yang sangat disadari oleh para pemimpin rakyat.  Kehendak berbangsa ini dideklarasikan sebagai Sumpah Pemuda, yang dapat diakui sebagai deklarasi kebangsaan bagi segenap rakyat Indonesia (walaupun kemudian ada yang menyatakan bahwa mereka tidak termasuk “bangsa” Indonesia karena tidak ikut bersumpah).
 Masa sesudah deklarasi kebangsaan itu mulai diramaikan dengan berbagai upaya perjuangan baik yang lunak, halus, penuh kesantunan, dan upaya yang keras, radikal, tanpa kompromi, merupakan upaya dan tindakan untuk memperoleh kemerdekaan bagi bangsa yang sudah di deklarasikan. Hampir 20 tahun (1928-1945), perjuangan tanpa henti dan tidak kenal lelah dari rakyat bersama, perjuangan dengan berbagai dimensi, akhirnya menghasilkan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dengan kemerdekaan dan negara kebangsaan yang merdeka, Negara dan Bangsa Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan bukan tujuan terminal, bukan tujuan akhir (bukan ultimate goal), namun “jembatan emas” yang di seberangnya berbagai agenda bangsa termasuk membangun bangsa dan karakternya, selain target mensejahterakan bangsa dalam berbagai dimensinya, ya ekonomi, ya politik, ya budaya, ya spiritualnya. Ada teman yang mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan ini seharusnya sudah selesai, tidak perlu diungkit lebih banyak, agenda selanjutnya sudah harus dipikirkan.  Bahkan ada yang mengusulkan sebagai wacana untuk membangun Indonesia Baru. Kita boleh setuju atau tidak setuju tentang hal ini, namun yang harus kita sepakati bukan sikap terminal, akan tetapi jalan yang harus ditempuh dengan melihat kondisi dan situasi obyektif pada saat ini.

Membangun bangsa dan karakternya

Pemahaman esensial dari konsep ini adalah membangun bangsa mesti simultan dengan membangun karakternya.  Karakter bangsa melekat dengan budaya dan peradaban bangsa. Dengan demikian membangun bangsa, seperti yang diawali dengan deklarasi kebangsaan pada Sumpah Pemuda 1928, sebetulnya melekat pula suatu karakter dasar bangsa, yaitu komitmen untuk menyadari keragaman sebagai modal untuk bersatu. Semangat Bhinneka Tunggal Ika .  Pembangunan bangsa dan karakternya sifatnya dinamis, jadi tidak akan pernah selesai, setiap saat tantangan baru menghadang perjalanan hidup kebangsaan kita.
Pada jaman Bung Karno, yang baru diletakkan adalah pembangunan bangsa dalam perspektif fundamen, yaitu memasukkan pemahaman bangsa dalam negara dan pemerintahan (mengenali negara bangsa).  Karakter utama yang dibangun adalah karakter merdeka, mandiri, tidak eksklusif, melihat dunia (internasionalisasi) secara obyektif, dan memeratakan paham kemerdekaan sebagai hak asasi manusia dan bangsa di seluruh dunia (solidaritas AA, AAA, Non Blok, New Emerging Forces).  Hasil yang dicapai, dan ini diakui di seluruh dunia, bahwa pada periode itu, mulai bermunculan negara-negara baru yang merdeka (secara pilitik) di seluruh dunia terutama di Afrika.
Tantangan nyata pada periode ini adalah mengisi kemerdekaan politik dengan kemerdekaan ekonomi, kedaulatan politik perlu dilengkapi dengan kesejahteraan ekonomi.  Demokrasi politik perlu diselaraskan dengan demokrasi sosial, yang umumnya merupakan tantangan paling besar bagi negara-negara berkembang di dunia.
Berbagai pengalaman negara-negara lain membangun negara, ternyata bermodal pada karakter kebangsaan yang dijadikan kunci keberhasilan. Karakter kebangsaan ini pula yang dijadikan modal bagi ekspansi globalisasi negara-negara maju, seperti Amerika, Jepang, Korea, Singapura.  Selama ini negara-negara maju itu pula yang dijadikan contoh bagi keberhasilan membangun negara. Namun kalau ditelusuri lebih lanjut bahwa semua negara tersebut melandasi keberhasilan pembangunan negaranya dari dasar karakter kebangsaan yang dibangun sejak awal.
Amerika membangun karakter kebangsannya sejak dini pada jenjang pendidikan pra-sekolah, semangat untuk menghormat bendera dan dengan khidmad menyanyikan lagu kebangsaan Amerika pada tiap kemenangan olah raga yang dilakukan oleh para atlitnya. Suatu kebiasaan yang hampir tidak pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia di negaranya sendiri.
Jepang terkenal dengan semangat bushidonya (semangat ksatria), semangat kaizen (tata nilai yang mencari perubahan secara berkelanjutan), hoshin kanri (semangat untuk meterjemahkan visi dan tujuan hidup menjadi strategi usaha organisasi atau perusahaan), poka yoke (logika yang secara agresif mencari dan meniadakan kemungkinan kesalahan, untuk meningkatkan efisiensi produksi), dan lain-lain karakter yang digali dan secara sistematis digunakan sebagai bagian pembangunan karakter bangsanya.
Korea (Selatan), terkenal dengan tegarnya identitas kebangsaan ditegakkan dalam berbagai segi kehidupannya, hanok-bahagia dengan rumah bergaya Korea, hanbok- bangga dengan pakaian Korea, hansik-makanan khas Korea, dan han-geul-bangga dengan alfabet nasionalnya.  Pada prinsipnya mereka justru sangat bangga dan terhormat untuk menampilkan identitas Koreanya, dan demikian besar harga diri dan kebanggaan terhadap produk Korea, mobil Jepang tidak beredar di Korea, demikian mobil dari negara lain termasuk Amerika dan Eropa.  Yang menggunakan mobil-mobil non Korea adalah Kedutaan asing termasuk Indonesia (menggunakan toyota dan mercedes).
Singapura, negara kecil yang dapat dikatakan belum sempat membangun bangsanya (ada rasa iri terhadap Indonesia yang punya bangsa sebelum punya negara).  Berbagai upaya untuk membangun bangsa dan karakternya dilakukan dengan menerapkan secara tepat sasaran pendidikannya yang bertahap sesuai dengan tingkatan pendidikannya. Pembangunan karakter bangsa dilakukan untuk memperjelas identitas bangsanya.
Indonesia yang diirikan sudah merhasil membangun bangsa, namun belum selesai dengan pembangunan karakter bangsanya.  Mungkin perlu dilakukan perubahan paradigma pembangunan karakter bangsanya, bukan dari karakter dasar yang bersifat fundamental, seperti cinta tanah air, bersemangat kerja dan tidak kompromi terhadap penyelewengan dan penyimpangan, berwatak jujur dan tegas dalam tantangan, dan sebagainya, yang diberikan sebagai bahan deduksi melalui teladan, akan tetapi melalui berbagai cara induktif-sintetik terhadap berbagai bentuk keragaman yang dihadapi.
Latihan untuk mengidentifikasi kesamaan dari berbagai obyek yang berbeda, dan menunjuk perbedaan dari obyek yang sama, dapat dijadikan cara yang konstruktif untuk membangun karakter Bhinneka Tunggal Ika. 
Negara yang saat ini menjadi obyek kajian yang menarik adalah Cina dan India.  Cina dengan keberhasilan yang spektakuler membangun ekonominya menjadi raksasa ekonomi yang tidak hanya disegani dunia, akan tetapi juga sangat disegani oleh raksasa ekonomi dunia, yaitu Amerika. Cina sangat tinggi semangat dan disiplin kerjanya, termasuk semangat membasmi penyelewengan dan penyimpangan, dan  berhasil menghasilkan produk yang tersebar di seluruh dunia termasuk Amerika. India dengan semangat swadesi, semangat menghasilkan sendiri, untuk memenuhi kebutuhan sendiri.  Semngat yang ditumbuhkan sebagai karakter bangsa, yaitu buat apa membeli kalau bisa membuat sendiri.  Indie dengan semangat itu pula mulai menjadi potensi ekonomi dunia, terutama di bidang elektronika dan IT.

Pembangunan Bangsa dan karakternya melalui Pendidikan

Berbagai contoh pembangunan karakter baik pada bangsa yang sudah mapan, maupun bangsa yang sedang dibangun (akan tetapi yang sudah hidup dalam negara yang mapan), dapat dijadikan bahan kajian yang menarik untuk merancang pendidikan yang dapat dilakukan pada generasi penerus bangsa Indonesia.  Namun yang segera dapat dilihat adalah bahwa pendidikan karakter bangsa, tidak dapat dilakukan hanya dengan mimbar pendidikan formal dan nonformal. Ke dua bentuk pendidikan tersebut terjadi dengan program yang jelas dan terstruktur (kurikulum), dalam sistem sekolah mapun luar sekolah, tidak cukup untuk membangun secara utuh karakter bangsa. 
Membangun karakter bangsa secara utuh melalui pendidikan hanya dapat terjadi manakala terjadi konvergensi pendidikan sekolah-keluarga-masyarakat.  Hal ini perlu ditekankan bahwa karakter dan pendidikan itu sendiri tidak dapat mengabaikan budaya dan kebudayaan yang justru menjadi ciri keluarga (masyarakat terkecil) dan masyarakat (keluarga besar).
Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa di sekolah (formal, dan sebenarnya juga termasuk di luar sekolah yang dikategorikan sebagai nonformal) yang cenderung terjadi adalah pemerdekaan pikiran, sementara itu pendidikan (yang utamanya terjadi dalam keluarga dan masyarakat terorganisasi) cenderung memerdekakan bati dan nuraninya. Konsep pendidikan dan politik pendidikan pemerintah sekarang, justru dapat mengacaukan konsep memerdekakan anak seperti yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara.
Sebenarnya yang dapat ditata dalam kurikulum adalah pengajaran/ pembelajaran, yang umumnya terkait dengan ilmu atau pengetahuan.  Kalau dikaitkan dengan karakter, maka karakter yang dapat dibentuk melalui pengajaran/pembelajaran ini utamanya adalah karakter keilmuan (karakter ilmuwan). Karakter keilmuan ini juga punya kontribusi penting dalam membangun karakter manusia, yaitu kejujuran, kemampuan spekulasi (prediksi, mampu menentukan pilihan, afirmatif), obyektif, membangun model pikiran, dan mampu menggunakan ilmu sebagai dasar produksi (teknologi) dan penilaian (evaluasi nilai).
Karakter yang lebih banyak terkait dengan tatanilai, moral, perilaku, dan berbagai sifat kemanusiaan, umumnya diketahui terjadi dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam pendidikan karakter, Lickona, 1992, menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan (Heri Dendi, 2008). 
Kalau menggunakan pendidikan formal dan nonformal untuk mengembangkan karakter yang terkait dengan moral tersebut, maka perlu dilakukan penegasan paradigma bahwa semua ilmu adalah alat pendidikan. Produk dan proses ilmu digunakan ebagai alat untuk mengenali 3 kategori moral tersebut di atas.  Walaupun pendidikan formal dan nonformal dapat digunakan untuk membangun karakter anak, namun dibutuhkan intensitas yang lebih tinggi, dan hal ini tidak dimungkinkan dilakukan dengan kuriklum yang terprogram dan terstruktur yang orientasi pokoknya adalah struktur keilmuannya.
Sebetulnya dibutuhkan berbagai bentuk keterlibatan anak dalam berbagai situasi yang sangat berbeda untuk memberikan peluang bagi anak untuk meresapkan segala bentuk moral knowing, moral feeling, dan moral action secara komprehensif dan langsung, terbuka dan bersifat lentur-fleksibel, tidak bernuansa koersif, mengikat, dan terstruktur.  Oleh karena itu kalau diambil peluang bentuk pendidikan formal dan nonformal, maka yang menjadi kendala pokok adalah terstrukturnya kurikulum.
Pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat lebih memungkinkan terjadinya konvergensi berbagai kebutuhan pendidikan yang memerdekakan baik pikiran, batin, dan nuraninya.  Namun tidak berarti tanpa kendala, yaitu sangat beragamnya keluarga dan masyarakat dalam pemahaman terhadap kebutuhan untuk membangun karakter anak.  Berarti  pendidikan untuk keluarga dan masyarakat juga dibutuhkan untuk menyiapkan sebagai bagian dari kesatuan sistem untuk membangun karakter bangsa bagi generasi penerus.

Penutup dan Refleksi

Pembangunan bangsa dan karakternya, terutama untuk bangsa Indonesia, dibutuhkan pemahaman yang utuh tentang permasalahan yang dihadapi.  Oleh sebagian orang, pembangunan bangsa dianggap sudah selesai, namun masih banyak persoalan yang masih tersisa antara lain masih banyak anggapan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia belum pernah ada.  Yang ada adalah impian sebagaian pemimpin bangsa, bahwa setelah Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan, berarti bangsa Indonesia telah eksis dan tidak perlu dipersoalkan.  Namun kenyataan setelah puluhan tahun merdeka, masih banyak anggota masyarakat Indonesia yang lebih yakin dirinya sebagai orang Aceh, orang Betawi, orang Sunda, orang Papua, orang Madura, orang Bali, dari pada sebagai bangsa Indonesia.  Bahkan masih banyak yang mempersoalkan nama Indonesia, ada yang mengusulkan nama Nusantara (kembali seperti jaman Majapahit). 
Baberapa cerdik pandai (cendekiawan) justru mempersoalkan untuk apa menyandang nama Indonesia, kalau memang tidak mampu menunjukkan karakter Indonesia yang dibanggakan.  Memang ini tantangan, bukan tantangan sebagian orang, tetapi tantangan bagi semua orang, baik yang setuju dengan Indonesia maupun yang tidak.  Kita bisa mulai lagi proses pembangunan bangsa dan karakternya, tetapi bukan untuk membangun Indonesia Baru.  Ke-Indonesia-an mestinya kita terima sebagai warisan yang harus dipertahankan, pembaruan yang harus dilakukan adalah prosesnya.  Kita belum melihat jeleknya sifat Indonesia, kecuali sifat dan karakter sebagian orang-orangnya. Dan mereka sejujurnya tidak perlu mengaku orang Indonesia.
Pembangunan karakter Indonesia diperlukan bukan untuk siapapun, akan tetapi justru untuk menunjukkan suatu keharusan sejarah yang tidak dapat dingkari oleh siapapun. Mari kita bicara sejujurnya, sebenarnya mampukah kita menyatakan siapakah kita sebenarnya, dan untuk apa kita hidup di Indonesia?       



  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar