Pendahuluan
Membangun
Bangsa dan Wataknya (Nation and Character
Building) sebenarnya mulai dikumandangkan sebagai bagian dari program
nasional bangsa dan pemerintah Indonesia sejak awal negara ini lahir di bawah
kepemimpinan Bung Karno. Tapi program besar ini belum sempat diselesaikan, dan
kesalahan bukan semata-mata salah Bung Karno dan para pemimpin bangsa, dan juga
bukan salah rakyat Indonesia, akan tetapi memang sejak awalnya program ini
tidak akan menguntungkan pihak-pihak yang menginginkan untuk menikmati kekayaan
alam Indonesia beserta dengan jumlah penduduk yang melimpah (sekitar 75 juta
pada saat kemerdekaan Indonesia di proklamirkan). Sehingga agenda-agenda untuk memecah bangsa
dengan berbagai upaya untuk menikmati kekayaan alamnya selalu terjadi, termasuk
upaya untuk melenyapkan Bung Karno 3 hari setelah proklamasi kemerdekaan.
Pembangunan bangsa (nation
building), di mulai sejak kebangkitan bangsa-dilanjutkan dengan sumpah
pemuda, yang sebetulnya mengikuti logika trilogi kebangsaannya Bung Karno,
yaitu kesadaran berbangsa, keinginan (cita-cita) berbangsa, dan tindakan
berbangsa. Pendidikan politik sejak kebangkitan nasional, adalah pendidikan
untuk menyadari bahwa melawan kolonial tidak harus dengan benturan kekuatan
fisik sebagaimana dilakukan oleh berbagai perlawanan rakyat melalui perang
Diponegoro, perang Padri, Perang Aceh, dan berbagai perang lain. Perang-perang yang sifatnya lokal, tidak
menyentuh rasa dan keinginan yang sifatnya nasional. Oleh karena itu lahirnya organisasi Budi
Oetomo, yang dikesankan sebagai organisasi yang lunak, organisasi priyayi, yang
tidak berdaya, dan tidak cukup mengesankan sebagai kekuatan “Indonesia”,
sesungguhnya adalah upaya secara cerdas dan modern pada saat itu, untuk
mengorganisasi kekuatan Indonesia yang mulai sadar.
Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908 dan momen sebelum dan
sesudah itu, adalah periode menumbuhkan kesadaran berbangsa, dengan segala
perspektif kemerdekaan yang asasi bagi “bangsa” Indonesia. Selama 20-an tahun, dan mulai lahirnya
berbagai organisasi pergerakan nasional, termasuk Partai Nasional Indonesia,
tahun 1927, yang dipimpin oleh Bung Karno, menjadi toggak bersejarah bagi
lahirnya pemahaman bahwa alat perjuangan lain yang harus dibangun adalah
partai.
Kesadaran berbangsa dan berbagai alat perjuangan yang
dibangun pada saat itu, merupakan pengerucutan kehendak berbangsa, yang sangat
disadari oleh para pemimpin rakyat.
Kehendak berbangsa ini dideklarasikan sebagai Sumpah Pemuda, yang dapat
diakui sebagai deklarasi kebangsaan bagi segenap rakyat Indonesia (walaupun
kemudian ada yang menyatakan bahwa mereka tidak termasuk “bangsa” Indonesia
karena tidak ikut bersumpah).
Masa sesudah
deklarasi kebangsaan itu mulai diramaikan dengan berbagai upaya perjuangan baik
yang lunak, halus, penuh kesantunan, dan upaya yang keras, radikal, tanpa
kompromi, merupakan upaya dan tindakan untuk memperoleh kemerdekaan bagi bangsa
yang sudah di deklarasikan. Hampir 20 tahun (1928-1945), perjuangan tanpa henti
dan tidak kenal lelah dari rakyat bersama, perjuangan dengan berbagai dimensi, akhirnya
menghasilkan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dengan kemerdekaan dan negara
kebangsaan yang merdeka, Negara dan Bangsa Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan bukan tujuan terminal, bukan tujuan
akhir (bukan ultimate goal), namun
“jembatan emas” yang di seberangnya berbagai agenda bangsa termasuk membangun
bangsa dan karakternya, selain target mensejahterakan bangsa dalam berbagai
dimensinya, ya ekonomi, ya politik, ya budaya, ya spiritualnya. Ada teman yang
mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan ini seharusnya sudah selesai,
tidak perlu diungkit lebih banyak, agenda selanjutnya sudah harus
dipikirkan. Bahkan ada yang mengusulkan
sebagai wacana untuk membangun Indonesia Baru. Kita boleh setuju atau tidak
setuju tentang hal ini, namun yang harus kita sepakati bukan sikap terminal,
akan tetapi jalan yang harus ditempuh dengan melihat kondisi dan situasi
obyektif pada saat ini.
Membangun bangsa dan karakternya
Pemahaman esensial dari konsep ini adalah membangun bangsa
mesti simultan dengan membangun karakternya.
Karakter bangsa melekat dengan budaya dan peradaban bangsa. Dengan
demikian membangun bangsa, seperti yang diawali dengan deklarasi kebangsaan pada
Sumpah Pemuda 1928, sebetulnya melekat pula suatu karakter dasar bangsa, yaitu
komitmen untuk menyadari keragaman sebagai modal untuk bersatu. Semangat Bhinneka Tunggal Ika . Pembangunan bangsa dan karakternya sifatnya
dinamis, jadi tidak akan pernah selesai, setiap saat tantangan baru menghadang
perjalanan hidup kebangsaan kita.
Pada jaman Bung Karno, yang baru diletakkan adalah
pembangunan bangsa dalam perspektif fundamen, yaitu memasukkan pemahaman bangsa
dalam negara dan pemerintahan (mengenali negara bangsa). Karakter utama yang dibangun adalah karakter
merdeka, mandiri, tidak eksklusif, melihat dunia (internasionalisasi) secara
obyektif, dan memeratakan paham kemerdekaan sebagai hak asasi manusia dan
bangsa di seluruh dunia (solidaritas AA, AAA, Non Blok, New Emerging Forces). Hasil
yang dicapai, dan ini diakui di seluruh dunia, bahwa pada periode itu, mulai
bermunculan negara-negara baru yang merdeka (secara pilitik) di seluruh dunia
terutama di Afrika.
Tantangan nyata pada periode ini adalah mengisi kemerdekaan
politik dengan kemerdekaan ekonomi, kedaulatan politik perlu dilengkapi dengan
kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik
perlu diselaraskan dengan demokrasi sosial, yang umumnya merupakan tantangan paling
besar bagi negara-negara berkembang di dunia.
Berbagai pengalaman negara-negara lain membangun negara,
ternyata bermodal pada karakter kebangsaan yang dijadikan kunci keberhasilan. Karakter
kebangsaan ini pula yang dijadikan modal bagi ekspansi globalisasi
negara-negara maju, seperti Amerika, Jepang, Korea, Singapura. Selama ini negara-negara maju itu pula yang
dijadikan contoh bagi keberhasilan membangun negara. Namun kalau ditelusuri
lebih lanjut bahwa semua negara tersebut melandasi keberhasilan pembangunan
negaranya dari dasar karakter kebangsaan yang dibangun sejak awal.
Amerika membangun karakter kebangsannya sejak dini pada
jenjang pendidikan pra-sekolah, semangat untuk menghormat bendera dan dengan
khidmad menyanyikan lagu kebangsaan Amerika pada tiap kemenangan olah raga yang
dilakukan oleh para atlitnya. Suatu kebiasaan yang hampir tidak pernah
dilakukan oleh bangsa Indonesia di negaranya sendiri.
Jepang terkenal dengan semangat bushidonya (semangat ksatria), semangat kaizen (tata nilai yang mencari perubahan secara berkelanjutan), hoshin kanri (semangat untuk
meterjemahkan visi dan tujuan hidup menjadi strategi usaha organisasi atau
perusahaan), poka yoke (logika yang
secara agresif mencari dan meniadakan kemungkinan kesalahan, untuk meningkatkan
efisiensi produksi), dan lain-lain karakter yang digali dan secara sistematis
digunakan sebagai bagian pembangunan karakter bangsanya.
Korea (Selatan), terkenal dengan tegarnya identitas
kebangsaan ditegakkan dalam berbagai segi kehidupannya, hanok-bahagia dengan rumah bergaya Korea, hanbok- bangga dengan pakaian Korea, hansik-makanan khas Korea, dan han-geul-bangga
dengan alfabet nasionalnya. Pada
prinsipnya mereka justru sangat bangga dan terhormat untuk menampilkan
identitas Koreanya, dan demikian besar harga diri dan kebanggaan terhadap
produk Korea, mobil Jepang tidak beredar di Korea, demikian mobil dari negara
lain termasuk Amerika dan Eropa. Yang
menggunakan mobil-mobil non Korea adalah Kedutaan asing termasuk Indonesia
(menggunakan toyota dan mercedes).
Singapura, negara kecil yang dapat dikatakan belum sempat
membangun bangsanya (ada rasa iri terhadap Indonesia yang punya bangsa sebelum
punya negara). Berbagai upaya untuk
membangun bangsa dan karakternya dilakukan dengan menerapkan secara tepat
sasaran pendidikannya yang bertahap sesuai dengan tingkatan pendidikannya.
Pembangunan karakter bangsa dilakukan untuk memperjelas identitas bangsanya.
Indonesia yang diirikan sudah merhasil membangun bangsa,
namun belum selesai dengan pembangunan karakter bangsanya. Mungkin perlu dilakukan perubahan paradigma
pembangunan karakter bangsanya, bukan dari karakter dasar yang bersifat
fundamental, seperti cinta tanah air, bersemangat kerja dan tidak kompromi
terhadap penyelewengan dan penyimpangan, berwatak jujur dan tegas dalam
tantangan, dan sebagainya, yang diberikan sebagai bahan deduksi melalui
teladan, akan tetapi melalui berbagai cara induktif-sintetik terhadap berbagai
bentuk keragaman yang dihadapi.
Latihan untuk mengidentifikasi kesamaan dari berbagai obyek
yang berbeda, dan menunjuk perbedaan dari obyek yang sama, dapat dijadikan cara
yang konstruktif untuk membangun karakter Bhinneka Tunggal Ika.
Negara yang saat ini menjadi obyek kajian yang menarik
adalah Cina dan India. Cina dengan
keberhasilan yang spektakuler membangun ekonominya menjadi raksasa ekonomi yang
tidak hanya disegani dunia, akan tetapi juga sangat disegani oleh raksasa
ekonomi dunia, yaitu Amerika. Cina sangat tinggi semangat dan disiplin
kerjanya, termasuk semangat membasmi penyelewengan dan penyimpangan, dan berhasil menghasilkan produk yang tersebar di
seluruh dunia termasuk Amerika. India dengan semangat swadesi, semangat menghasilkan sendiri, untuk memenuhi kebutuhan
sendiri. Semngat yang ditumbuhkan
sebagai karakter bangsa, yaitu buat apa membeli kalau bisa membuat
sendiri. Indie dengan semangat itu pula
mulai menjadi potensi ekonomi dunia, terutama di bidang elektronika dan IT.
Pembangunan Bangsa dan karakternya melalui Pendidikan
Berbagai contoh pembangunan karakter baik pada bangsa yang
sudah mapan, maupun bangsa yang sedang dibangun (akan tetapi yang sudah hidup
dalam negara yang mapan), dapat dijadikan bahan kajian yang menarik untuk
merancang pendidikan yang dapat dilakukan pada generasi penerus bangsa
Indonesia. Namun yang segera dapat
dilihat adalah bahwa pendidikan karakter bangsa, tidak dapat dilakukan hanya
dengan mimbar pendidikan formal dan nonformal. Ke dua bentuk pendidikan
tersebut terjadi dengan program yang jelas dan terstruktur (kurikulum), dalam
sistem sekolah mapun luar sekolah, tidak cukup untuk membangun secara utuh
karakter bangsa.
Membangun karakter bangsa secara utuh melalui pendidikan
hanya dapat terjadi manakala terjadi konvergensi pendidikan
sekolah-keluarga-masyarakat. Hal ini
perlu ditekankan bahwa karakter dan pendidikan itu sendiri tidak dapat
mengabaikan budaya dan kebudayaan yang justru menjadi ciri keluarga (masyarakat
terkecil) dan masyarakat (keluarga besar).
Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa di sekolah (formal, dan
sebenarnya juga termasuk di luar sekolah yang dikategorikan sebagai nonformal)
yang cenderung terjadi adalah pemerdekaan pikiran, sementara itu pendidikan
(yang utamanya terjadi dalam keluarga dan masyarakat terorganisasi) cenderung
memerdekakan bati dan nuraninya. Konsep pendidikan dan politik pendidikan pemerintah
sekarang, justru dapat mengacaukan konsep memerdekakan anak seperti yang
dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara.
Sebenarnya yang dapat ditata dalam kurikulum adalah
pengajaran/ pembelajaran, yang umumnya terkait dengan ilmu atau
pengetahuan. Kalau dikaitkan dengan
karakter, maka karakter yang dapat dibentuk melalui pengajaran/pembelajaran ini
utamanya adalah karakter keilmuan (karakter ilmuwan). Karakter keilmuan ini
juga punya kontribusi penting dalam membangun karakter manusia, yaitu
kejujuran, kemampuan spekulasi (prediksi, mampu menentukan pilihan, afirmatif),
obyektif, membangun model pikiran, dan mampu menggunakan ilmu sebagai dasar
produksi (teknologi) dan penilaian (evaluasi nilai).
Karakter yang lebih banyak terkait dengan tatanilai, moral,
perilaku, dan berbagai sifat kemanusiaan, umumnya diketahui terjadi dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam pendidikan karakter, Lickona, 1992,
menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak mampu
memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan (Heri Dendi,
2008).
Kalau menggunakan pendidikan formal dan nonformal untuk
mengembangkan karakter yang terkait dengan moral tersebut, maka perlu dilakukan
penegasan paradigma bahwa semua ilmu adalah alat pendidikan. Produk dan proses
ilmu digunakan ebagai alat untuk mengenali 3 kategori moral tersebut di
atas. Walaupun pendidikan formal dan
nonformal dapat digunakan untuk membangun karakter anak, namun dibutuhkan
intensitas yang lebih tinggi, dan hal ini tidak dimungkinkan dilakukan dengan
kuriklum yang terprogram dan terstruktur yang orientasi pokoknya adalah
struktur keilmuannya.
Sebetulnya dibutuhkan berbagai bentuk keterlibatan anak
dalam berbagai situasi yang sangat berbeda untuk memberikan peluang bagi anak
untuk meresapkan segala bentuk moral
knowing, moral feeling, dan moral action secara komprehensif dan langsung,
terbuka dan bersifat lentur-fleksibel, tidak bernuansa koersif, mengikat, dan
terstruktur. Oleh karena itu kalau
diambil peluang bentuk pendidikan formal dan nonformal, maka yang menjadi
kendala pokok adalah terstrukturnya kurikulum.
Pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat lebih
memungkinkan terjadinya konvergensi berbagai kebutuhan pendidikan yang
memerdekakan baik pikiran, batin, dan nuraninya. Namun tidak berarti tanpa kendala, yaitu
sangat beragamnya keluarga dan masyarakat dalam pemahaman terhadap kebutuhan
untuk membangun karakter anak.
Berarti pendidikan untuk keluarga
dan masyarakat juga dibutuhkan untuk menyiapkan sebagai bagian dari kesatuan
sistem untuk membangun karakter bangsa bagi generasi penerus.
Penutup dan Refleksi
Pembangunan bangsa dan karakternya, terutama untuk bangsa
Indonesia, dibutuhkan pemahaman yang utuh tentang permasalahan yang
dihadapi. Oleh sebagian orang,
pembangunan bangsa dianggap sudah selesai, namun masih banyak persoalan yang
masih tersisa antara lain masih banyak anggapan bahwa sesungguhnya bangsa
Indonesia belum pernah ada. Yang ada
adalah impian sebagaian pemimpin bangsa, bahwa setelah Sumpah Pemuda dan
Proklamasi Kemerdekaan, berarti bangsa Indonesia telah eksis dan tidak perlu
dipersoalkan. Namun kenyataan setelah
puluhan tahun merdeka, masih banyak anggota masyarakat Indonesia yang lebih
yakin dirinya sebagai orang Aceh, orang Betawi, orang Sunda, orang Papua, orang
Madura, orang Bali, dari pada sebagai bangsa Indonesia. Bahkan masih banyak yang mempersoalkan nama
Indonesia, ada yang mengusulkan nama Nusantara (kembali seperti jaman
Majapahit).
Baberapa cerdik pandai (cendekiawan) justru mempersoalkan
untuk apa menyandang nama Indonesia, kalau memang tidak mampu menunjukkan
karakter Indonesia yang dibanggakan.
Memang ini tantangan, bukan tantangan sebagian orang, tetapi tantangan
bagi semua orang, baik yang setuju dengan Indonesia maupun yang tidak. Kita bisa mulai lagi proses pembangunan
bangsa dan karakternya, tetapi bukan untuk membangun Indonesia Baru. Ke-Indonesia-an mestinya kita terima sebagai
warisan yang harus dipertahankan, pembaruan yang harus dilakukan adalah
prosesnya. Kita belum melihat jeleknya
sifat Indonesia, kecuali sifat dan karakter sebagian orang-orangnya. Dan mereka
sejujurnya tidak perlu mengaku orang Indonesia.
Pembangunan karakter Indonesia diperlukan bukan untuk
siapapun, akan tetapi justru untuk menunjukkan suatu keharusan sejarah yang
tidak dapat dingkari oleh siapapun. Mari kita bicara sejujurnya, sebenarnya
mampukah kita menyatakan siapakah kita sebenarnya, dan untuk apa kita hidup di
Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar