Sejak awal kelahirannya, banyak kalangan
ilmuwan psikologi berpendapat bahwa psikologi sebagai ilmu pengetahuan
mengandung dua sisi konsep sekaligus, yakni sisi konsepsi ilmu pengetahuan dan
sisi aplikasinya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Psikologi merupakan ilmu
yang mempelajari tingkah laku manusia untuk kepentingan kehidupan manusia agar
lebih baik (well being), harus
dapat dipertanggungjawabkan sisi keilmuannya dan sekaligus harus mendatangkan manfaat
kegunaan bagi kehidupan manusia yang dilayaninya. Oleh karena itu para profesional
di bidang psikologi baik itu psikolog maupun ilmuwan psikologi dalam menjaga
dan mempertahankan profesionalitasnya diperlukan suatu aturan atau kode etik
yang membatasi mereka agar terhindar dari pelanggaran dan penyalahgunaan. Kode
etik ini sangat diperlukan karena kode etik dijadikan sebagai dasar dalam
pelaksanaan profesi psikologi untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan dalam
pelaksanaannya.
Tujuan utama
adanya etika profesi selain untuk menjaga integritas dan kohesivitas suatu
profesi, juga sebagai :
1. Sebagai
proteksi bagi ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan profesi tersebut agar
terpelihara eksistensinya, semakin berkembang dan bermanfaat bagi manusia.
2. Memberikan
proteksi bagi praktisi ilmu pengetahuan agar optimal dalam hal pengembangan
ilmunya tersebut maupun dalam hal pengamalan ilmu pengetahuannya bagi
kepentingan umat manusia.
3. Sebagai
proteksi bagi masyarakat yang menjadi konsumen, agar terhindar dari hal-hal
yang merugikan akibat penyalahgunaan pelayanan terkait ilmu dan profesi yang
bersangkutan.
Seperti kode
etik profesi pada umumnya, kode etik psikologi juga berisi ketentuan-ketentuan
standar berupa aturan yang bertujuan untuk menjaga profesionalitas suatu
profesi, dan biasanya bersifat tipikal pada kajian ilmu pengetahuan dan profesi
tertentu yang terkait, yang dalam hal ini adalah kajian ilmu psikologi dan
profesi psikolog serta ilmuwan psikologi. Kode etik dirancang berdasarkan
dengan tujuan, sasaran, serta nilai esensial terkait kajian ilmu dan profesi
yang bersangkutan.
APA (American
Psychological Association) adalah yang pertama kali memberlakukan kode etik
dalam profesi psikologi pada tahun 1953. Awalnya banyak para psikolog yang
tergabung dalam komite APA memasukkan banyak kasus klinis yang melibatkan
dilema etik yang muncul dalam konteks profesionalitas. Dengan berbekal analisis
hal tersebut, komite merumuskan suatu kode etik yang menyeluruh yang dirangkum
dalam sebuah rangkaian pedoman umum. Dari awal penyusunannya sampai saat ini,
telah banyak mengalami revisi demi menyempurnakan dan menjadi standar etika
yang baik dan mengatur hal-hal yang lebih spesifik. Standar tersebut yang
memberi aturan-aturan yang mengikat bagi tata cara perilaku profesional
psikolog. Kode etik APA kemudian menjadi
acuan bagi para profesi psikologi anggota APA, namun juga standar kode etik ini
dapat dipergunakan oleh organisasi lain, seperti badan-badan psikologi dan
pengadilan, untuk menghakimi dan memberi sanksi kepada psikolog baik ia
tergabung dalam APA atau tidak. Dalam kode etik tersebut memuat
ketentuan-ketenatuan terkait etika profesi psikologi yang terdiri atas :
1. Responsibility;
profesi psikologi diharapkan bersikap hati-hati terkait hasil kerjanya yang
berpotensi memiliki dampak sensitive. Hal itu dapat dilakukan dengan mencermati
aktifitas yang dilakukan agar dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjanya baik
kepada pihak sejawat dan pihak-pihak terkait lainnya serta dapat
mempertanggungjawabkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan.
2. Competence;
psikolog harus memahami batasan aktifitas profesionalismenya dalam kompetensi
yang sesuai dan berdasarkan keahlian, kemampuan dan pengalaman kerja
profesional yang dimiliki.
3. Moral
and legal standard; Psikolog harus menempatkan aktifitas profesionalnya dalam
tataran nilai-nilai moral dan hukum yang berlaku di lingkup lingkungan dimana
aktifitas profesionalnya itu dilaksanakan. Pemahaman terhadap aturan-aturan
hukum yang berkaitan dengan aktifitas profesinya mutlak harus dilakukan agar
terhindar dari tindakan hukum baik terhadap diri, profesi maupun keilmuannya.
Pemahaman terhadap nilai moral sosial, budaya serta spiritual masyarakat sangat
menentukan keberhasilan layanan profesional yang dibutuhkan.
4. Public
statement dari seluruh rencana, proses, metode, pendekatan maupun hasil atau
hal lainnya. Aktifitas profesi yag dilakukan oleh psikolog hendaknya
mendatangkan manfaat baik bagi profesi, profesional dan kemanusiaan, konsumen
maupun masyarakat secara keseluruhan.jenis informasi apapun yang merugikan dan
tidak bermanfaat harus dikelola dengan arif dan bijak. Psikolog harus
menghindari misleading dalam kerja profesionalnya akibat misleading dari public
statement yang dibuatnya.
5. Prinsip
kerahasiaan profesional harus dipegang teguh agar supaya tidak menimbulkan
dampak yang berbahaya dan merusak diri, profesi, orang lain maupun komunitas
secara keseluruhan. Data (psychological record)hanya digunakan untuk
kebermanfaatan bagi konsumen/klien yang bersangkutan baik itu individu,
institusi atau komunitas. Selain itu hanya untuk keperluan profesional semata.
6. Prinsip
kerja profesional psikolog harus mampu dengan jelas menunjukkan manfaat dan
komitmen bagi kebaikan hidup konsumennya. Karena itu diperlukan proteksi bagi
psikolog maupun konsumennya agar tercapai kemanfaatan maksimal.
7. Menjaga
dan memelihara hubungan teman sejawat. Menjaga dan memlihara relasi profesional
dengan semua pihak yang berhubungan dalam aktivitas profesi agar saling
menghargai dan melindungi dalam mencapai hasil kerja profesi yang optimal.
Dalam hal ini, tidak hanya rekan sejawat dengan profesi yang sama, namun juga
dengan profesi-profesi lain yang bekerja sama saat aktivitas profesional
psikolog berlangsung.
8. Menggunakan
prosedur yang terstandar dan sesuai. Menjaga dan memelihara teknik assessment
dan teknik treatment termasuk semuaperangkatnya agar tidak disalahgunakan
sehingga merugikan kepentingan ilmu, profesi, profesional, konsumen maupun
masyarakat secara umum.
9. Perlunya
sikap empati yang kuat bagi para profesional psikolog, terkait dengan layanan
profesional psikologi yang tujuan utamanya adalah tercapainya Human Walfare dan
Human Wellbeing. Menempatkan konsumen/kliennya dalam kedudukan yang setara,
serta adanya partisipasi, perhatian (care) dan assertive yang setara. (www.apa.org/about/index.aspx,
22/11/11)
APA
(American Psychologycal Association) mendefinisikan kode etik sebagai
peraturan-peraturan bertindak yang khusus dan mengikat serta harus ditaati oleh
psikolog. Sedangkan menurut HIMPSI, kode
etik psikologi didefinisikan sebagai nilai-nilai untuk ditaati dijalankan
sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan selaku ilmuwan psikologi dan
psikolog dengan pennuh tanggung jawab.
Landasan
filosofis yang digunakan APA dalam kode etiknya adalah keadilan, hak asasi
perorangan, bersikap baik sesuai dengan etika yang berlaku. Tidak jauh berbeda,
landasan filosofis HIMPSI dalam kode etiknya yakni menghormati harkat dan
martabat manusia, menjunjung tinggi terpeliharanya hak-hak asasi manusia dan
meningkatkan pengetahuan tentang manusia, serta memanfaatkan pengetahuan dan
kemampuan bagi kesejahteraan umat manusia. Kode etik memiliki karakteristik
dapat berubah (flexibel dan dinamis) dan selalu berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman. (http://aswendo2dwitantyanov.wordpress.com/2011/01/22/etiologi-diagnosa-prognosa/
22/11/11)
5
psinsip umum dalam kode etik APA:
1. Beneficence
and nonmaleficence. Psikolog memberikan kebermanfaatan bagi konsumen baik itu
individu, institusi maupun komunitas, dan tanpa merugikan.psikolog harus
memberikan jaminan keamanan, kerahasiaan, dan menghormati hak asasi dari
konsumen yang berinteraksi secara profesional dengannya. Dalam bidang
penelitian, tidak hanya dengan subjek manusia yang harus dihargai hak-hak
asasinya, subjek hewan pun harus diperhatikan. Bertanggung jawab untuk
menghindari atau meminimalisir dampak negatif dari konsekuensi suatu aktifitas
profesional yang dilakukan oleh psikolog.
2. Fidelity
and responsibility.
Psikolog membangun
hubungan yang dilandasi kepercayaan
dengan orang-orang
yang bekerja
sama dengannya.
Mereka menyadari
tanggung jawab
mereka
secara profesioanal dan ilmiah untuk masyarakat
tertentu di mana
mereka bekerja. Psikolog menegakkan
standar perilaku profesional, memperjelas peran profesional
dan kewajiban
mereka, menerima tanggung jawab yang
sesuai untuk perilaku mereka,
dan berusaha untuk mengelola konflik
kepentingan yang membahayakan. Psikolog berusaha
untuk menyumbangkan
sebagian waktu profesional
mereka dengan kompensasi yang sedikit
atau bahkan tidak
ada.
3. Integrity
Psikolog berusaha
untuk
menampilkan akurasi,
kejujuran, dan kebenaran baik dalam
keilmuan,
pengajaran, maupun
praktek psikologi.
Dalam kegiatan
ini psikolog
tidak mencuri, menipu,
atau terlibat dalam
penipuan, akal-akalan, atau sengaja menyalahi
fakta. Psikolog berusaha
untuk menjaga janji dan komitmen mereka.
Dalam situasi di
mana penipuan
dapat dibenarkan secara
etis untuk memaksimalkan manfaat
dan meminimalkan
kerugian, psikolog memiliki
kewajiban serius untuk
mempertimbangkan kebutuhan, kemungkinan
konsekuensi, dan tanggung jawab mereka
untuk memperbaiki
ketidakpercayaan yang
dihasilkan atau efek
berbahaya lainnya yang
timbul.
4. Justice
Psikolog menyadari
bahwa kejujuran dan keadilan bagi semua
orang untuk
berhak mengakses dan
mengambil manfaat
dari kontribusi psikologi dan
untuk mendapatkan kualitas
yang sama dalam proses,
prosedur, dan jasa yang dilakukan
oleh psikolog.
Psikolog melakukan
penilaian yang wajar dan
mengambil tindakan pencegahan untuk memastikan
bahwa potensi bias
mereka, batas-batas kompetensi mereka,
dan keterbatasan keahlian mereka
tidak menyebabkan
atau membiarkan praktek-praktek yang
tidak adil.
5.
Respect for people’s
right and dignity.
Psikolog menghormati martabat semua orang dan hak-hak individu untuk mendapatkan privasi, dijaga kerahasiaannya, dan menentukan nasibnya sendiri. Psikolog menyadari bahwa
perlindungan khusus mungkin diperlukan untuk melindungi hak dan kesejahteraan
orang atau masyarakat yang mengganggu kerentanan pengambilan keputusan otonom.
Psikolog menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu, dan peran,
termasuk yang didasarkan pada usia, jenis kelamin, identitas gender, ras,
etnis, budaya, kebangsaan, agama, orientasi seksual, cacat tubuh, bahasa, dan
status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut ketika bekerja dengan mereka. Psikolog mencoba untuk
menghilangkan efek bias pada pekerjaan mereka didasarkan pada faktor-faktor
tersebut, dan mereka tidak sadar berpartisipasi dalam atau membiarkan kegiatan
orang lain berdasarkan prasangka tersebut.
(www.apa.org/ethics/code/index.aspx?item=2#
22/11/11)
Kode etik psikologi di Indonesia diatur
oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi
Indonesia)
yang berfungsi mengatur norma profesional psikolog walaupun tidak bersifat
absolut karena tergantung pada persepsi dari masing-masing psikolog. Kode etik
yang dikeluarkan oleh HIMPSI berisi rambu-rambu untuk membantu sikap dan perilaku
anggota HIMPSI, kode etik sebagai pengendali terhadap sikap dan perilaku
psikolog, serta mempunyai dampak internal terhadap nurani psikolog. Anggota
yang bergabung dalam HIMPSI yaitu sarjana psikologi, psikolog, dan ilmuan
psikologi.
Di Indonesia sendiri kode etik psikologi
yang dibuat oleh HIMPSI mengandung tujuh bab dan 19 pasal, di mana tiap babnya
membahas terperinci keprofesian psikologi. Bab satu membahas pedoman umum yang
berisi pengertian, tanggung jawab, batas keilmuan dan perilaku dan citra
profesi. Bab dua membahas hubungan antar rekan profesi dan hubungan dengan
profesi yang lain. Bab tiga membahas pelaksanaan kegiatan sesuai batas
keahlian/ kewenangan, sikap profesional dan perlakuan terhadap pemakai jasa/
klien, asas kesediaan, interpretasi hasil pemeriksaan, pemanfaatan dan
penyampaian hasil pemeriksaan, kerahasiaan data dan hasil pemeriksaan, serta
pencantuman identitas pada laporan hasil pemeriksaan dari praktek psikologi.
Pada bab empat berisikan pernyataan. Pada bab lima berisi penghargaan terhadap
karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain serta penggunaan
dan penguasan sarana pengukuran psikologik. Pada bab enam berisikan pelanggaran,
penyelesaian masalah pelanggaran kode etik psikologi Indonesia serta
perlindungan terhadap ilmuan psikologi dan psikolog. Dan bab ketujuh berisikan
penutup.
Berbeda dengan Ethical Standards yang dikeluarkan oleh APA, kode etik
disusun berdasarkan cluster tertentu
secara sistematis, namun dalam kode etik HIMPSI disusun membentuk BAB dan
pasal-pasal. Seperti contoh ialah kode etik yang mengatur terkait kegiatan
penelitian ilmiah dalam Bidang Psikologi. Dalam Ethical Standards yang
dikeluarkan APA, diatur dalam section tersendiri yakni Ethical Standards on
Reaserch and Publication. Sedangkan dalam Kode Etik yang dibuat oleh HIMPSI,
dibahas pada salah satu pasal dari Bab Pemberian
Jasa/Praktik Psikologi. (www.scribd.com/doc/28552676/etika-dalam-penelitian-psikologi,
22/11/11)
Standar kode etik psikologi yang ada di
Indonesia kurang rinci dibandingkan kode etik yang dibuat oleh American Psycholigical Association (APA).
Kode etik yang dibuat oleh APA lebih ketat mengatur pelaksanaan penggunaan ilmu
psikologi. Apabila ada peraturan yang bertentangan dengan kode etik maka
psikolog harus melakukan konsultasi dengan profesi lainnya yang terkait baik
secara pribadi maupun melalui referensi-referensi lainnya. Asosiasi ini
mengatur mengenai kearsipan, pendataan, penilikan yang berkaitan dengan
pelanggaran. Psikolog sendiri dituntut untuk mengembangkan prinsip-prinsip kode
etik sebagai standar etika setiap individu dan warga psikolog dituntut untuk
selalu berkepribadian sesuai dengan etika tersebut dan melakukan konsultasi
dengan sejawat jika ada hambatan dan penekanan kode etik merupakan bagian dari
nilai-nilai, budaya dan pengalaman para psikolog yang tidak menyimpang untuk
dipakai sebagai standar etika. Sedangkan kode etik yang dibuat oleh HIMPSI
tidak serinci kode etik dari APA. Dalam kode etik psikologi Indonesia tidak
dimuat mengenai peningkatan keahlian, perbedaan individu, hubungan etika dan
hukum, terapi, pelatihan, kegiatan forensik, isu-isu yang ebrkaitan dengan
etika, tidak diskriminasi, pelecehan seksual dan lainnya serta evaluasi dan
penilaian intervensi yang kesemua itu ada dalam APA.
Dalam kode etik psikologi Indonesia
kesemua hal di atas hanya tersirat bukan tersurat sehingga psikolog kurang
memahami maksud yang terkandung dalam tiap bab dan pasal yang dimuat oleh kode
etik psikologi Indonesia. Sehingga para psikolog kurang paham dengan isi kode
etik yang telah dibuat. Kode etik di Indonesia masih berkiblat dengan kode etik
dari negara barat di mana kultur, adat istiadat serta etika yang berlaku
berbeda dengan di Indonesia. Hendaknya standar etika yang berlaku dan
dijalankan harus sesuai dengan di mana etika itu berada. Selain itu, di
Indonesia sikap profesionalisme masih sangat kurang. Karena masih banyak yang
menganggap hal tersebut kurang penting yang lebih dipentingkan adalah hasil
kerja bukan proses kerja.
KODE ETIK PSIKOLOGI:
INDONESIA VS AMERIKA SERIKAT
disusun oleh :
Aisyah Chandra Asri
09/283476/PS/05777
Anindita Yulinda Putri 09/283889/PS/05813
Anindita Yulinda Putri 09/283889/PS/05813
Astuti Dian Lestari 09/289108/PS/05860
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar