Senin, 24 November 2014

Kode Etik Psikologi Indonesia VS Amerika Serikat



Sejak awal kelahirannya, banyak kalangan ilmuwan psikologi berpendapat bahwa psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengandung dua sisi konsep sekaligus, yakni sisi konsepsi ilmu pengetahuan dan sisi aplikasinya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk kepentingan kehidupan manusia agar lebih baik (well being), harus dapat dipertanggungjawabkan sisi keilmuannya dan sekaligus harus mendatangkan manfaat kegunaan bagi kehidupan manusia yang dilayaninya. Oleh karena itu para profesional di bidang psikologi baik itu psikolog maupun ilmuwan psikologi dalam menjaga dan mempertahankan profesionalitasnya diperlukan suatu aturan atau kode etik yang membatasi mereka agar terhindar dari pelanggaran dan penyalahgunaan. Kode etik ini sangat diperlukan karena kode etik dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan profesi psikologi untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan dalam pelaksanaannya.

Tujuan utama adanya etika profesi selain untuk menjaga integritas dan kohesivitas suatu profesi, juga sebagai :
1.    Sebagai proteksi bagi ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan profesi tersebut agar terpelihara eksistensinya, semakin berkembang dan bermanfaat bagi manusia.
2.    Memberikan proteksi bagi praktisi ilmu pengetahuan agar optimal dalam hal pengembangan ilmunya tersebut maupun dalam hal pengamalan ilmu pengetahuannya bagi kepentingan umat manusia.
3.    Sebagai proteksi bagi masyarakat yang menjadi konsumen, agar terhindar dari hal-hal yang merugikan akibat penyalahgunaan pelayanan terkait ilmu dan profesi yang bersangkutan.
Seperti kode etik profesi pada umumnya, kode etik psikologi juga berisi ketentuan-ketentuan standar berupa aturan yang bertujuan untuk menjaga profesionalitas suatu profesi, dan biasanya bersifat tipikal pada kajian ilmu pengetahuan dan profesi tertentu yang terkait, yang dalam hal ini adalah kajian ilmu psikologi dan profesi psikolog serta ilmuwan psikologi. Kode etik dirancang berdasarkan dengan tujuan, sasaran, serta nilai esensial terkait kajian ilmu dan profesi yang bersangkutan.
APA (American Psychological Association) adalah yang pertama kali memberlakukan kode etik dalam profesi psikologi pada tahun 1953. Awalnya banyak para psikolog yang tergabung dalam komite APA memasukkan banyak kasus klinis yang melibatkan dilema etik yang muncul dalam konteks profesionalitas. Dengan berbekal analisis hal tersebut, komite merumuskan suatu kode etik yang menyeluruh yang dirangkum dalam sebuah rangkaian pedoman umum. Dari awal penyusunannya sampai saat ini, telah banyak mengalami revisi demi menyempurnakan dan menjadi standar etika yang baik dan mengatur hal-hal yang lebih spesifik. Standar tersebut yang memberi aturan-aturan yang mengikat bagi tata cara perilaku profesional psikolog.  Kode etik APA kemudian menjadi acuan bagi para profesi psikologi anggota APA, namun juga standar kode etik ini dapat dipergunakan oleh organisasi lain, seperti badan-badan psikologi dan pengadilan, untuk menghakimi dan memberi sanksi kepada psikolog baik ia tergabung dalam APA atau tidak. Dalam kode etik tersebut memuat ketentuan-ketenatuan terkait etika profesi psikologi yang terdiri atas :
1.    Responsibility; profesi psikologi diharapkan bersikap hati-hati terkait hasil kerjanya yang berpotensi memiliki dampak sensitive. Hal itu dapat dilakukan dengan mencermati aktifitas yang dilakukan agar dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjanya baik kepada pihak sejawat dan pihak-pihak terkait lainnya serta dapat mempertanggungjawabkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan.
2.    Competence; psikolog harus memahami batasan aktifitas profesionalismenya dalam kompetensi yang sesuai dan berdasarkan keahlian, kemampuan dan pengalaman kerja profesional yang dimiliki.
3.    Moral and legal standard; Psikolog harus menempatkan aktifitas profesionalnya dalam tataran nilai-nilai moral dan hukum yang berlaku di lingkup lingkungan dimana aktifitas profesionalnya itu dilaksanakan. Pemahaman terhadap aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan aktifitas profesinya mutlak harus dilakukan agar terhindar dari tindakan hukum baik terhadap diri, profesi maupun keilmuannya. Pemahaman terhadap nilai moral sosial, budaya serta spiritual masyarakat sangat menentukan keberhasilan layanan profesional yang dibutuhkan.
4.    Public statement dari seluruh rencana, proses, metode, pendekatan maupun hasil atau hal lainnya. Aktifitas profesi yag dilakukan oleh psikolog hendaknya mendatangkan manfaat baik bagi profesi, profesional dan kemanusiaan, konsumen maupun masyarakat secara keseluruhan.jenis informasi apapun yang merugikan dan tidak bermanfaat harus dikelola dengan arif dan bijak. Psikolog harus menghindari misleading dalam kerja profesionalnya akibat misleading dari public statement yang dibuatnya.
5.    Prinsip kerahasiaan profesional harus dipegang teguh agar supaya tidak menimbulkan dampak yang berbahaya dan merusak diri, profesi, orang lain maupun komunitas secara keseluruhan. Data (psychological record)hanya digunakan untuk kebermanfaatan bagi konsumen/klien yang bersangkutan baik itu individu, institusi atau komunitas. Selain itu hanya untuk keperluan profesional semata.
6.    Prinsip kerja profesional psikolog harus mampu dengan jelas menunjukkan manfaat dan komitmen bagi kebaikan hidup konsumennya. Karena itu diperlukan proteksi bagi psikolog maupun konsumennya agar tercapai kemanfaatan maksimal.
7.    Menjaga dan memelihara hubungan teman sejawat. Menjaga dan memlihara relasi profesional dengan semua pihak yang berhubungan dalam aktivitas profesi agar saling menghargai dan melindungi dalam mencapai hasil kerja profesi yang optimal. Dalam hal ini, tidak hanya rekan sejawat dengan profesi yang sama, namun juga dengan profesi-profesi lain yang bekerja sama saat aktivitas profesional psikolog berlangsung.
8.    Menggunakan prosedur yang terstandar dan sesuai. Menjaga dan memelihara teknik assessment dan teknik treatment termasuk semuaperangkatnya agar tidak disalahgunakan sehingga merugikan kepentingan ilmu, profesi, profesional, konsumen maupun masyarakat secara umum.
9.    Perlunya sikap empati yang kuat bagi para profesional psikolog, terkait dengan layanan profesional psikologi yang tujuan utamanya adalah tercapainya Human Walfare dan Human Wellbeing. Menempatkan konsumen/kliennya dalam kedudukan yang setara, serta adanya partisipasi, perhatian (care) dan assertive yang setara. (www.apa.org/about/index.aspx, 22/11/11)
APA (American Psychologycal Association) mendefinisikan kode etik sebagai peraturan-peraturan bertindak yang khusus dan mengikat serta harus ditaati oleh psikolog. Sedangkan menurut HIMPSI,  kode etik psikologi didefinisikan sebagai nilai-nilai untuk ditaati dijalankan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan selaku ilmuwan psikologi dan psikolog dengan pennuh tanggung jawab.
Landasan filosofis yang digunakan APA dalam kode etiknya adalah keadilan, hak asasi perorangan, bersikap baik sesuai dengan etika yang berlaku. Tidak jauh berbeda, landasan filosofis HIMPSI dalam kode etiknya yakni menghormati harkat dan martabat manusia, menjunjung tinggi terpeliharanya hak-hak asasi manusia dan meningkatkan pengetahuan tentang manusia, serta memanfaatkan pengetahuan dan kemampuan bagi kesejahteraan umat manusia. Kode etik memiliki karakteristik dapat berubah (flexibel dan dinamis) dan selalu berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman. (http://aswendo2dwitantyanov.wordpress.com/2011/01/22/etiologi-diagnosa-prognosa/ 22/11/11)

5 psinsip umum dalam kode etik APA:
1.    Beneficence and nonmaleficence. Psikolog memberikan kebermanfaatan bagi konsumen baik itu individu, institusi maupun komunitas, dan tanpa merugikan.psikolog harus memberikan jaminan keamanan, kerahasiaan, dan menghormati hak asasi dari konsumen yang berinteraksi secara profesional dengannya. Dalam bidang penelitian, tidak hanya dengan subjek manusia yang harus dihargai hak-hak asasinya, subjek hewan pun harus diperhatikan. Bertanggung jawab untuk menghindari atau meminimalisir dampak negatif dari konsekuensi suatu aktifitas profesional yang dilakukan oleh psikolog.
2.    Fidelity and responsibility.
Psikolog membangun hubungan yang dilandasi kepercayaan dengan orang-orang yang bekerja sama dengannya. Mereka menyadari tanggung jawab mereka secara profesioanal dan ilmiah untuk masyarakat tertentu di mana mereka bekerja. Psikolog menegakkan standar perilaku profesional, memperjelas peran profesional dan kewajiban mereka, menerima tanggung jawab yang sesuai untuk perilaku mereka, dan berusaha untuk mengelola konflik kepentingan yang membahayakan. Psikolog berusaha untuk menyumbangkan sebagian waktu profesional mereka dengan kompensasi yang sedikit atau bahkan tidak ada.
3.    Integrity
Psikolog berusaha untuk menampilkan akurasi, kejujuran, dan kebenaran baik dalam keilmuan, pengajaran, maupun praktek psikologi. Dalam kegiatan ini psikolog tidak mencuri, menipu, atau terlibat dalam penipuan, akal-akalan, atau sengaja menyalahi fakta. Psikolog berusaha untuk menjaga janji dan komitmen mereka. Dalam situasi di mana penipuan dapat dibenarkan secara etis untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian, psikolog memiliki kewajiban serius untuk mempertimbangkan kebutuhan, kemungkinan konsekuensi, dan tanggung jawab mereka untuk memperbaiki ketidakpercayaan yang dihasilkan atau efek berbahaya lainnya yang timbul.
4.    Justice
Psikolog menyadari bahwa kejujuran dan keadilan bagi semua orang untuk berhak mengakses dan mengambil manfaat dari kontribusi psikologi dan untuk mendapatkan kualitas yang sama dalam proses, prosedur, dan jasa yang dilakukan oleh psikolog. Psikolog melakukan penilaian yang wajar dan mengambil tindakan pencegahan untuk memastikan bahwa potensi bias mereka, batas-batas kompetensi mereka, dan keterbatasan keahlian mereka tidak menyebabkan atau membiarkan praktek-praktek yang tidak adil.
5.   Respect for people’s right and dignity.
Psikolog menghormati martabat semua orang dan hak-hak individu untuk mendapatkan privasi, dijaga kerahasiaannya, dan menentukan nasibnya sendiri. Psikolog menyadari bahwa perlindungan khusus mungkin diperlukan untuk melindungi hak dan kesejahteraan orang atau masyarakat yang mengganggu kerentanan pengambilan keputusan otonom. Psikolog menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu, dan peran, termasuk yang didasarkan pada usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, kebangsaan, agama, orientasi seksual, cacat tubuh, bahasa, dan status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut ketika bekerja dengan mereka. Psikolog mencoba untuk menghilangkan efek bias pada pekerjaan mereka didasarkan pada faktor-faktor tersebut, dan mereka tidak sadar berpartisipasi dalam atau membiarkan kegiatan orang lain berdasarkan prasangka tersebut.

Kode etik psikologi di Indonesia diatur oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi
Indonesia) yang berfungsi mengatur norma profesional psikolog walaupun tidak bersifat absolut karena tergantung pada persepsi dari masing-masing psikolog. Kode etik yang dikeluarkan oleh HIMPSI berisi rambu-rambu untuk membantu sikap dan perilaku anggota HIMPSI, kode etik sebagai pengendali terhadap sikap dan perilaku psikolog, serta mempunyai dampak internal terhadap nurani psikolog. Anggota yang bergabung dalam HIMPSI yaitu sarjana psikologi, psikolog, dan ilmuan psikologi.
Di Indonesia sendiri kode etik psikologi yang dibuat oleh HIMPSI mengandung tujuh bab dan 19 pasal, di mana tiap babnya membahas terperinci keprofesian psikologi. Bab satu membahas pedoman umum yang berisi pengertian, tanggung jawab, batas keilmuan dan perilaku dan citra profesi. Bab dua membahas hubungan antar rekan profesi dan hubungan dengan profesi yang lain. Bab tiga membahas pelaksanaan kegiatan sesuai batas keahlian/ kewenangan, sikap profesional dan perlakuan terhadap pemakai jasa/ klien, asas kesediaan, interpretasi hasil pemeriksaan, pemanfaatan dan penyampaian hasil pemeriksaan, kerahasiaan data dan hasil pemeriksaan, serta pencantuman identitas pada laporan hasil pemeriksaan dari praktek psikologi. Pada bab empat berisikan pernyataan. Pada bab lima berisi penghargaan terhadap karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain serta penggunaan dan penguasan sarana pengukuran psikologik. Pada bab enam berisikan pelanggaran, penyelesaian masalah pelanggaran kode etik psikologi Indonesia serta perlindungan terhadap ilmuan psikologi dan psikolog. Dan bab ketujuh berisikan penutup.
Berbeda dengan Ethical Standards yang dikeluarkan oleh APA, kode etik disusun berdasarkan cluster tertentu secara sistematis, namun dalam kode etik HIMPSI disusun membentuk BAB dan pasal-pasal. Seperti contoh ialah kode etik yang mengatur terkait kegiatan penelitian ilmiah dalam Bidang Psikologi. Dalam Ethical Standards yang dikeluarkan APA, diatur dalam section tersendiri yakni Ethical Standards on Reaserch and Publication. Sedangkan dalam Kode Etik yang dibuat oleh HIMPSI, dibahas pada salah satu pasal dari Bab Pemberian Jasa/Praktik Psikologi. (www.scribd.com/doc/28552676/etika-dalam-penelitian-psikologi, 22/11/11)
Standar kode etik psikologi yang ada di Indonesia kurang rinci dibandingkan kode etik yang dibuat oleh American Psycholigical Association (APA). Kode etik yang dibuat oleh APA lebih ketat mengatur pelaksanaan penggunaan ilmu psikologi. Apabila ada peraturan yang bertentangan dengan kode etik maka psikolog harus melakukan konsultasi dengan profesi lainnya yang terkait baik secara pribadi maupun melalui referensi-referensi lainnya. Asosiasi ini mengatur mengenai kearsipan, pendataan, penilikan yang berkaitan dengan pelanggaran. Psikolog sendiri dituntut untuk mengembangkan prinsip-prinsip kode etik sebagai standar etika setiap individu dan warga psikolog dituntut untuk selalu berkepribadian sesuai dengan etika tersebut dan melakukan konsultasi dengan sejawat jika ada hambatan dan penekanan kode etik merupakan bagian dari nilai-nilai, budaya dan pengalaman para psikolog yang tidak menyimpang untuk dipakai sebagai standar etika. Sedangkan kode etik yang dibuat oleh HIMPSI tidak serinci kode etik dari APA. Dalam kode etik psikologi Indonesia tidak dimuat mengenai peningkatan keahlian, perbedaan individu, hubungan etika dan hukum, terapi, pelatihan, kegiatan forensik, isu-isu yang ebrkaitan dengan etika, tidak diskriminasi, pelecehan seksual dan lainnya serta evaluasi dan penilaian intervensi yang kesemua itu ada dalam APA.
Dalam kode etik psikologi Indonesia kesemua hal di atas hanya tersirat bukan tersurat sehingga psikolog kurang memahami maksud yang terkandung dalam tiap bab dan pasal yang dimuat oleh kode etik psikologi Indonesia. Sehingga para psikolog kurang paham dengan isi kode etik yang telah dibuat. Kode etik di Indonesia masih berkiblat dengan kode etik dari negara barat di mana kultur, adat istiadat serta etika yang berlaku berbeda dengan di Indonesia. Hendaknya standar etika yang berlaku dan dijalankan harus sesuai dengan di mana etika itu berada. Selain itu, di Indonesia sikap profesionalisme masih sangat kurang. Karena masih banyak yang menganggap hal tersebut kurang penting yang lebih dipentingkan adalah hasil kerja bukan proses kerja.



























KODE ETIK PSIKOLOGI:
INDONESIA VS AMERIKA SERIKAT













disusun oleh :
Aisyah Chandra Asri 09/283476/PS/05777
           Anindita Yulinda Putri 09/283889/PS/05813
Astuti Dian Lestari 09/289108/PS/05860





FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar