Senin, 24 November 2014

aplikasi perkembangan dalam dunia pendidikan tingkat SD



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Selama perjalanan hidup, anak-anak mengalami perubahan-perubahan yang menakjubkan. Kebanyakan perubahan ini terlihat jelas, yaitu anak-anak tumbuh semakin besar, lebih cerdas, lebih mahir secara sosial, dan seterusnya. Namun, banyak aspek berkembangan tidak nempak begitu jelas. Masing-masing anak berkembang dengan cara yang berbeda dan dengan kecepatan yang berbeda, dan perkembangan dipengaruhi oleh budaya, pengasuhan, pendidikan, dan faktor-faktor lain. Setiap guru perlu memahami bagaimana anak-anak tumbuh dan berkembang agar sanggu memahami bagaimana anak-anak belajar dan apa cara terbaik untuk mengajari mereka.


B.     Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk memenuhi tugas Psikologi Pendidikan
2.      Mengetahui teori perkembangan anak usia Sekolah Dasar dan hubungannya dalam dunia pendidikan.
3.      Memberikan gagasan baru mengenai aplikasi perkembangan dalam dunia pendidikan tingkat Sekolah Dasar.




BAB II
PEMBAHASAN

Istilah perkembangan merujuk bagaimana orang tumbuh, menyesuaikan diri, dan berubah sepanjang perjalanan hidup mereka, melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian (moral), perkembangan sosial emosianal, perkembangan kognitif, dan perkembangan bahasa. Salah satu persyaratan pertama pengajaran yang efektif ialah bahwa guru memahami bagaimana sisw bepikir dan bagaimana mereka memandang dunia ini. Startegi pengajaran yang efektif harus memperhitungkan usia dan tahap perkembangan siswa.

A.    Masalah-masalah Perkembangan
Dua masalah utama yang perlu diperhatikan dalam perkembangan ialah sejauh mana perkembangan dipengaruhi oleh pengalaman atau apakah perkembangan berlangsung secara bertahap.
  1. Kontroversi Alam-Pengasuhan
Dewasa ini banyak pakar psikologi perkembangan (misalnya Berk, 2003; Berk, Bee & Boyd, 2003; Cook & Cook, 2005; Fabes & Martin, 2000) percaya bahwa alam (nature) dan pengasuhan (nurture) memberi pengaruh terhadap perkembangan dengan faktor-faktor biologi yang berperan lebih kuat dalam beberapa aspek seperti perkembangan fisik dan faktor-faktor lingkungan yang berperan lebih kuat dalam aspek lain, seperti perkembangan moral.
  1. Teori Berkelanjutan dan Terputus
Masalah kedua ini berkisar di seputar pandangan tentang bagaimana perubahan terjadi. Teori perkembangan berkelanjutan (continuous theories of development) terjadi dalam langkah yang mulus karena kemampuan berkembang dan pengalaman dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungan. Teori perkembangan berkelanjutan lebih menekankan peran penting lingkuan daripada keturunan.
Di lain pihak ada  anggapan bahwa anak-anak bertumbuh melalui tahap perkembangan yang dapat diprediksi dan tidak berbeda. Semua anak diyakini memiliki kemampuan berkembang dengan urutan yang sama, walaupun kemajuan tiap anak berbeda. Dalam masing-masing tahap, anak-anak mengembangkan pemahaman, kemampuan, dan keyakinan yang berbeda secara kualitatif. Melompati tahap adalah hal yang mustahil, walaupun ada anak tertentu yang dapat memperlihatkan perilaku dengan karakteristik lebih. (Zigler & Gillman, 1998)
Berbeda dengan teori berkelanjutan, teori perkembangan terputus (Discontinuous Theories of Development) ini terpusat pada faktor bawaan lahir daripada faktor lingkungan. Kondisi lingkungan memang dapat mempercepat perkembangan tetapi urutan tahap-tahap perkembangan pada dasarnya sudah tetap.

B.     Perkembangan Fisik
Sistem-sistem rangka dan otot selama tahun-tahun sekolah dasar, anak-anak tumbuh rata-rata 5 hingga 7 cm setahun, sehingga pada usia 11 tahun tinggi rata-rata anak perempuan 147 cm dan rata-rata anak laki-laki 146 cm. Selama tahun-tahun pertengahan dan akhir masa anak-anak, berat anak-anak bertambah hingga 3,2 kg per tahun. Berat meningkat terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka dan otot, serta ukuran beberapa organ tubuh. Bertambahnya kekuatan otot karena faktor keturunan dan olahraga. Kemampuan-kemampuan kekuatan otot mereka berlipat ganda selama tahun-tahun sekolah dasar. Karena besarnya jumlah sel-sel otot mereka, anak laki-laki umumnya lebih kuat daripada anak perempuan.



Keterampilan Motorik
Selama usia sekolah dasar perkembangan motorik anak-anak menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi daripada masa awal anak- anak. Ketika anak-anak memasuki tahun-tahun sekolah dasar, mereka memperoleh kendali yang lebih besar atas tubuh mereka, tetapi mereka jauh dari kedewasaan fisik dan mereka harus aktif. Tindakan fisik penting bagi anak-anak untuk memperhalus keterampilan-keterampilan mereka yang sedang berkembang. Oleh karena itu, pada prinsipnya anak-anak sekolah dasar harus terlibat secara aktif daripada pasif di dalam berbagai kegiatan. Meningkatnya myelin, yaitu suatu selubung syaraf-syaraf yang menolong impuls syaraf bergerak lebih cepat di sistem syaraf pusat tercermin dalam perbaikan keterampilan-keterampilan motor kasar selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Anak-anak berusia 6 tahun dapat memukul, meninju, mengikat tali sepatu, dan mengancingkan baju. Pada usia 7 tahun tangan anak-anak menjadi lebih kuat, mereka lebih menyukai pensil dalam menggambar, dan dapat menulis lebih kecil dan rapi. Di usia 8-10 tahun, ananak dapat menggunakan tangannya dengan lebih focus dan bebas. Usia 10-12 tahun gerakan tangan anak lebih kompleks, rumit, dan cepat dalam menghasilkan karya dan kerajinan dengan mutu bagus tapi masih sulit dalam memainkan instrumen musik.

Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
1.      Jam pelajaran siswa Sekolah Dasar
Di Indonesia, sistem pengaturan jam belajar di Sekolah Dasar sudah cukup baik. Pada kelas 1, biasanya pukul 10 sudah pulang dan begitu seterusnya meningkat hingga kelas 6. Pengaturan jam belajar yang seperti ini sangat baik mengingat perkembangan fisik anak jangan sampai terforsir. Namun, ada pula sekolah yang walau kelas 1 namun sudah diberlakukan jam pulanngya pukul 15.00, lalu meningkat pada kelas 6 pulang pukul 17.00. Sistem yang seperti ini terdapat di sekolah Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT). Jangan salah sangka bahwa kegiatan belajar mengajar formal dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari. Di SDIT, selain berfungsi sebagai sekolah tempat belajar mengajar, juga berfungsi sebagai tempat penitipan anak. Di jaman yang penuh teknologi sekarang ini, menjadikan banyak orang tua yang disibukkan dengan pekerjaannya sehingga tidak bisa mengurus anak di jam-jam kerja. Untuk itu, banyak dari mereka lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di SDIT yang jam sekolahnya hingga sore daripada hanya meninggalkan anak mereka di rumah bersama pembantu mereka. Tidak melulu belajar formal namun juga ada jam bermain, makan, bahkan tidur siang. Suasana yang menyenangkan dikemas dalam sekolah ini dengan tujuan supaya anak-anak tidak merasa lelah dan masih tetap dapat berkonsentrasi penuh. 
2.      Olahraga
Pelajaran olahraga menjadi salah satu pelajaran penting dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar. Untuk mengembangkan fisik yang sehat dan bugar, olahraga tidak hanya disisipkan dalam pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan saja. Pada masa perkembangan, anak harus didorong aktif untuk bergerak, untuk itu biasanya ada di beberapa sekolah yang mewajibkan adanya olahraga yang dilakukan juga diluar jam belajar. Salah satunya adalah senam yang selalu dilakukan di pagi hari sebelum melakukan aktifitas belajar mengajar. Kegiatan senam ini dapat diadakan seminggu dua kali atau seminggu empat kali.
3.      Ketrampilan dan kerajinan tangan
Dengan memadukan aspek kognitif dan kreativitas  dalam pengajaran ketrampilan dan kerajinan tangan, motorik halus anak-anak diasah dan dikembangkan. Di Indonesia, sudah banyak beberapa sekolah yang dalam kurikulumnya terdapat pelajaran ketrampilan dan kerajinan tangan ini. Biasanya sekolah akan melaksanakannya seminggu sekali dalam jadwal belajar mengajar siswa.

C.    Perkembangan Kognisi
Ada dua teori yang sering digunakan dalam psikologi untuk melihat perkembangan kognitif. Yaitu teori perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan kognitif Vygotsky.
a.    Teori perkembangan kognitif Piaget
Piaget yakin bahwa semua anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan memahaminya. Untuk mencapai pemahaman ini, otak membangun skema atau peta pikiran (mind map) yaitu pola pikiran atau perilaku. Dalam perkembangannya,  anak akan menerima informasi baru dan skemanya akan menjadi lebih kompleks. Menurut Piaget proses ini disebut adaptasi. Anak-anak melakukan adaptasi kogintif melalui dua cara, yaitu assimilasi dan akomodasi. Assimilasi adalah memahami atau menambahkan informasi yang baru ke dalam skema yang sudah ada sedangkan akomodasi adalah mengubah skema yang sudah ada agar sesuai dengan informasi yang baru. Dalam proses adaptasi ini, akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) antara apa yang dipahami dan apa yang ditemukan. Untuk menguranginya maka anak akan melakukan equilibrisasi. Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, suatu pandangan tentang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak-anak secara aktif membangun sistem pengertian dan pemahaman tentang realitas melalui pengalaman dan interaksi mereka.

Tahap-tahap Perkembangan Menurut Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecerdasan atau kemampuan kognisi seseorang anak mengalami kemajuan dalam empat tahapan yang jelas. Tahapan-tahapan itu adalah tahap: sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, operasional formal. Masing-masing tahap dicirikan oleh kemunculan kemampuan-kemampuan baru dan cara mengubah informasi.

                      i.            Tahap Sensorimotor (lahir hingga 2 tahun)
Tahap paling awal disebut sensorimotor karena pada tahp ini bayi dan anak kecil menjajaki dunia mereka dengan menggunakan indera mereka dan kemampuan motor mereka. Ciri lain yang terjadi pada tahap ini adalah:
a.       Egocentrism, yaitu melihat sesuatu dari sudut pandang mereka
b.      Ketetapan objek, yaitu fakta bahwa suatu objek ada sekalipun tidak terlihat
c.       Konsep ruang dan waktu, yaitu kesadaran bahwa ada jarak antara objek
d.      Hubungan sebab akibat, yaitu  mereka mulai membedakan antara perilaku mereka sebagai penyebab dan menemukan pada kejadian yang lain.

                    ii.            Tahap Praoperasional (usia 2 hingga 7 tahun)
Tahap dimana anak-anak belajar melambangkan segala sesuatu dalam pikiran. Mereka mulai mengekspresikan apa yang mereka ketahui lewat lukisan atau kata-kata. Selama tahap praoperasional, bahasa dan konsep anak-anak berkembang secara luar biasa. Namun pada tahap ini pemikiran anak-anak masih primitif. Ciri pemikirannya adalah:
a.       Tidak mempunyai pemahaman tentang konservasi, yaitu konsep bahwa sifat objek tertentu akan tetap sama walaupun terjadi perubahan sifat lainnya.
b.      Keterpusatan (Centering), yaitu memberikan perhatian hanya pada satu objek atau situasi.
c.       Irreversibilitas (Irreversibility), yaitu ketidakmampuan untuk membalikkan pemikiran mereka. Misalnya anak-anak bisa menghitung 2+2=4, tetapi mereka tidak mengerti bahwa 4-2=2.
d.      Realisme, yaitu berkembangnya kemampuan untuk membedakan dan menerima dunia nyata.
e.       Animisme, yaitu kepercayaan bahwa semua benda adalah hidup.
f.       Artifisialisme, yaitu mengumpamakan segala sesuatu adalah produk atau buatan manusia.

                  iii.            Tahap Operasional Konkret (usia 7 hingga 11 tahun)
Tahap ketika anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar logis dan memahami konservasi tetapi hanya dapat menggunakan kedua kemampuan ini dalam mengahadapi situasi yang sudah dikenal atau nyata(konkret). Selama masa-masa sekolah dasar, kemampuan kognitif anak-anak mengalami perubahan-perubahan dramatis. Anak-anak sekolah dasar tidak lagi mengalami kesulitan dengan masalah konservasi, karena mereka telah memperoleh konsep reversibilitas. Tugas penting yang dipelajari anak-anak selama tahap operasional konkret adalah:
a.       Pengurutan (seriation), yaitu kemampuan untuk menyusun objek secara meningkat atau menurun.
b.      Klasifikasi (classification), yaitu menggolongkan objek sesuai suatu kriteria atau dimensi
c.       Transivisitas, yaitu kemampuan menyusun dan membandingkan objek-objek dalam pemikiran.

                  iv.            Tahap Operasional Formal (usia 11 hingga dewasa)
Tahap dimana seseorang dapat menghadapi situasi hipotetis dengan abstrak dan dapat bernalar secara logis.

Isu-isu dalam Pendidikan Sekolah Dasar
Anak-anak pada usia sekolah dasar (usia 7 hingga 11 tahun) menurut teori perkembangan kognitif berada dalam tahap operasional konkret.

1.      Pelajaran yang menekankan pada definisi
Anak-anak sekolah dasar belum mampu mencerna sesuatu hal yang bersifat abstrak. Seperti definisi atau pengertian yang bahkan terkadang mereka belum mengenal kata-kata itu sebelumnya. Misalnya saja dalam pelajaran Kewarganegaraan atau Sosial. Dalam pelajaran Sosial kelas dua SD sudah ada materi tentang emansipasi. Pengertian emansipasi dijelaskan dengan kata-kata yang juga bersifat abstrak yaitu persamaan kedudukan dan hak antara laki-laki dan perempuan. Yang kemudian menjadi pertanyaannya adalah apakah anak-anak kelas dua SD sudah paham tentang apa itu hak dan bahkan emansipasi itu sendiri?
Yang perlu diperhatikan oleh guru adalah seharusnya mereka mampu mendefinisikan arti kata emansipasi itu dalam bentuk yang konkret. Misalnya memberikan cerita tentang perjuangan R.A. Kartini atau memberikan contoh-contoh pekerjaan yang sekarang banyak dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.  Tidak hanya dalam definisi kata-kata yang mungkin saja para siswa itu mampu menghafalnya tetapi tidak paham apa itu emansipasi.
2.      Menghafal
Banyak pelajaran tingkat sekolah dasar yang menuntut untuk hafalan. Contoh paling klasik adalah hafalan perkalian pada anak kelas dua SD. Dalam hafalan maka guru lebih menekankan pada hasil yang cepat dan tepat bukan bagaimana proses memperoleh hasil tersebut yang tentunya menentukan sejauh mana pemahaman siswa. Kemampuan mengahafal setiap siswa tentunya berbeda satu sama lain. Hal inilah yang seharusnya dimengerti oleh setiap guru. Misalnya saja dalam soal 4x4, siswa A bisa saja menjawab lebih cepat daripada siswa B karena kemampuan menghafal si A lebih baik tetapi siswa B belum tentu tidak mengerti karena dalam hal ini siswa B menghitung dengan cara  4+4+4+4=16. Meskipun lebih lambat tetapi siswa B mempunyai pemahaman dari konsep perkalian itu sendiri.
3.      Klasifikasi dan soal membandingkan
Pada  tahap operasional konkret,  kemampuan klasifikasi dan membandingkan antar objek pada anak-anak usia sekolah dasar mulai berkembang. Ini yang seharusnya diperhatikan para guru untuk menerapakan pembelajaran yang sesuai sehingga mereka bisa menerima materi yang diajarkan. Misalnya saja dalam pelajaran SAINS, anak-anak diajak mengelompokkan buah-buahan berdasar kesamaan ciri-ciri yang dimiliki, buah berbiji banyak dan berbiji sedikit, dengan menyuruh siswa membawa buah yang telah ditentukan atau mungkin hanya gambar buah-buahan. Dengan cara seperti ini siswa akan lebih tertarik dan lebih paham daripada hanya mengajarkan materi secara text book.

  1. Teori perkembangan kognitif Vygotsky
Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan kognisi sangat terkait dengan masukan dari orang-orang lain. Teori Vygotsky menekankan pada pembelajaran yang melibatkan perolehan tanda-tanda melalui pengajaran dan pemroresan informasi dari orang lain. Perkembangan melibatkan internalisasi anak terhadap tanda-tanda ini sehingga mereka mampu memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Konsep ini disebut self regulation atau pengaturan diri.
Selain itu Vygotsky juga menekankan pada mekanisme percakapan pribadi. Dimana seorang anak menyerap informasi yang diperoleh dari orang lain  kemudian menggunakan percakapan itu untuk membantu dirinya sendiri memecahkan masalah. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal mereka (zone of proximal devolepment), yaitu ketika seorang anak masih belum dapat mengerjakan tugas secara mandiri tetapi dapat dikerjakan dengan bantuan orang lain atau teman yang lebih kompeten.   

Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
  1. Pembelajaran dengan kerja kelompok.
Pembentukan kelompok-kelompok kecil di kelas akan membantu siswa belajar lebih aktif daripada mereka hanya mendengarkan guru berceramah. Anggota-anggota kelompok bisa diatur dengan pendistribusian kemampuan yang merata. Siswa yang dianggap lebih kompeten dibagi rata dalam setiap kelompok sehingga mereka bisa membantu teman lainnya yang kurang paham. Pemberian tugas secara berkelompok juga merangsang siswa menyalurkan pendapatnya dalam kelompok-kelompok kecil dalam penyelesaian suatu soal. Pembentukan kelompok-kelompok kecil ini juga mebantu siswa bersosialisasi satu sama lain.
  1. Pemberian pekerjaan rumah.
Pemberian pekerjaan rumah ini secara moral juga mebentuk tanggung jawab siswa terhadap tugas yang diberikan. Dalam hubugannya dengan teori Vygotsky pekerjaan rumah juga memberikan kesempatan belajar kepada siswa untuk menyelesaikan tugas atau soal yang mereka anggap sulit dengan bantuan orang di rumah atau orang lain, misalnya guru prifat, yang lebih kompeten. Pada anak usia sekolah dasar seyogyanya pemberian PR ini tidak terlalu menyita waktu mereka untuk bermain setelah lelah belajar di sekolah. Pemberian pekerjaan rumah hendakanya memperhitungkan waktu istirahat siswa.
  1. Mengajarkan dengan contoh konkret.
Mengajarkan anak-anak mengenai hal-hal yang abstrak yang terdapat dalam kurikulum pelajaran dengan menggunakan contoh-contoh konkret. Untuk itu di sini guru memiliki peran aktif dan harus mengetahui metode cara pengajaran yang bagaimana supaya anak-anak dapat menangkap dan mengerti atas informasi apa yang telah disampaikan. Guru harus sangat mengerti bagaimana murid-muridnya, emosinya, bakat, dan kemampuan mereka. Tidak hanya berkutat pada teks buku tapi juga ikut mengaplikasikannya dengan kehidupan sehari-hari yang ada di lingkup sekitar.

D.    Perkembangan Moral
Tahap-tahap penalaran moral menurut Kohlberg
Teori tahap Kohlberg (1963, 1969) tentang penalaran moral adalah penjabaran dan berbaikan terhadap teori Piaget. Sama seperti Piaget, Kohlberg mempelajari bagaimana anak-anak bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku mereka dalam situasi tertentu. Kohlberg tidak mempelajari permainan anak-anak, tetapi lebih menyelidiki tanggapan mereka terhadap beberapa situasi yang terstruktur atau dilema moral.
Kohlberg berpendapat bahwa orang melewati rangakaian enam tahap pernilaian atau penalaran moral. Tingkat-tingkat dan tahap-tahap Kohlberg:
I.     Tingkat Prakonvensional
II.      Tingkat Konvensional
III.        Tingkat Pasca-konvensional
Aturan diletakkan orang-orang lain.
Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Konsekuensi fisik tindakan menentukan kebaikan dan keburukannya.
Tahap 2: Orientasi Relativis Instrumental
Apa yang benar adalah apa saja yang memuaskan kebutuhan diri sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang-orang lain. Unsur-unsur keadilan dan ketimbalbalikan ada, tetapi kebanyakan ditafsirkan dalam bentuk “Anda menggaruk punggung saya, saya akan menggaruk unggungmu.”
Individu menganut aturan dan kadang akan menomor-duakan kebutuhan sendiri di belakang kebutuhan kelompok. Harapan keluarga, kelompok, atau bangsa dipandang bernilai pada dirinya, tanpa peduli konsekuensi-konsekuensinya.
Tahap 3: Orientasi “Anak Baik”
Perilaku yang baik adalah apa saja yang menyenangkan atau membantu orang lain dan disetujui oleh mereka. Sese-orang memperoleh perse-tujuan dengan bersikap “manis”.
Tahap 4: Orientasi “Hukum dan Keteraturan”
Benar berarti melakukan kewa-jiban sesorang, dengan mem-perlihatkan sikap hormat ke-pada orang berwenang, dan mempertahankan tatanan sosial tertentu pada dirinya.
Orang mendefinisikan nilai-nilainya sendiri dari sudut prinsip-prinsi etika yang telah mereka pilih untuk diikuti.
Tahap 5: Orientasi Kontrak Sosial
Apa yang benar ditentukan dari sudut hak-hak individu umum dan dari sudut standar yang telah disepakati oleh seluruh masya-rakat. Berbeda dari tahap 4, undang-undang tidak ‘beku” ha itu dapat diubah demi kebaikan masyarakat.
Tahap 6: Orientasi Prinsip Etika Universal
Apa yang benar ditentukan oleh keputusan suara hati menurut prinsip-prinsip etika yang dipilih pribad. Prinsip-prinsip ini adalah abstrak dan etis, bukan ketentuan moral spesifik.

Usia pada saat anak-anak mengalami tahap-tahap tadi mungkin saja sangat berbeda-beda, bahkan orang yang sama mungkin saja berperilaku menurut tahap yang satu dalam beberapa lama dan menuntut tahap lainnua dalam saat-saat lainnya. Namun, kebanyakan anak melewati tingkat prakonvensional ke konvensional pada usia 9 tahun (Kohlberg, 1969).
Tahap 1, yang berada pada tingkat prakonvensional moralitas, mempunyai bentuk dan isi yang sangat mirip dengan tahap moralitas heteronom Piaget. Anak-anak hanya mematuhi sosk-sosok yang berwenang untuk menghindari dihukum. Dalam Tahap 2, kebutuhan dan keinginan sendiri anak-anak menjadi penting, namun mereka sadar dengan kepentingan orang lain. Dalam pengertian konkret, mereka menimbang-nimbang kepentingan semua pihak ketika melakukan penilaian moral, tetapi mereka masih “menjadikan diri sebagai nomor satu”. Tingkat konvensional moralitas mulai pada Tahap 3. Di sini moralitas didefinisikan dari sudut kerja sama dengan teman-teman, tepat seperti yang terjadi dalam tahap moralitas otonom Piaget. Ini adalah tahap di mana anak-anak mempunyai keyakinan yang tidak dapat dipertanyakan bahwa seseorang seharusnya “berbuat kepada orang-orang lain sebagaimana Anda menginginkan mereka berbuat kepada Anda.” Karena penurunan egosentrisme yang menyertai kegiatan konkret, anak-anak secara kognitif sanggup menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Mereka dapat mempertimbangkan perasaan orang-orang lain ketka mengambil keputusan moral. Mereka tidak lagi hanya melakukan apa yang tidak mengakibatkan mereka dihukum (Taha 1) atau membuat mereka bahagia (Tahap 2). Pada Tahap 4, peraturan dan undang-undang masyarakat menggantikan peraturan dan undang-undang kelompok sebaya. Keinginan untuk memperoleh persetujuan masyarakat tidak lagi menentukan penilaian moral. Undang-undang ditaati tanpa pertanyaan, dan pelanggaran hukum tidak akan daat dibenarkan. Tahap 5 menandakan pintu masuk ke tingkat pasca-konvensional moraltas. Tingkat penalaran moral ini diperoleh di bwah 25 persen orang dewasa, menurut Kohlberg. Tahap 6, prinsip-prinsip etika seseorang dipilih sendiri dan didasarkan pada konsep-konsep abstrak seperti keadlian, kesetaraan, dan nilai hak asasi manusia.


Kritik terhadap teori Kohlberg
Salah satu keterbatasan karya Kohlberg ialah bahwa kebanyakan melibatkan anak laki-laki. Riset tentang penalaran moral anak perempuan menemukan pola yang agak berbeda dari pola yang disodorkan Kohlberg. Apabila penalaran moral anak laki-laki terutama berkisar diseputar masalah keadilan, anak-anak perempuan lebih tertarik dengan msalah-masalah kepedulian dan tanggung jawab terhadap orang-orang lain (Gilligan, 1982; 1985; Gilligan & Attanucci, 1988; Haspe & Baddeley, 1991).
Kritik lain, bahwa anak-anak sering dapat bernalar tentang situasi moral dengan cara yang lebih canggih daripada tahap yang diusulkan teori (Rest, Edwards & Thoma, 1997). Misalnya, anak-anak yang berusia 6-10 tahun pada tahap moralitas heteronomm juga telah diperhatikan menarik perbedaan antara aturan yang dibenarkan untuk dibuat dan ditegakkan orang tua dan aturan yang berada di bawah juridiksi pribadi dan teman-teman (Laupa, 1991; Tisak & Tisak, 1990). Akhirnya, Turiel (1998), telah berpendapat bahwa anak-anak menarik perbedaan antara aturan-aturan moral, seperti tidak boleh berdusta dan mencuri, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, dan aturan-aturan sosial-konvensional, seperti tidak boleh mengenakan piyama di sekolah, yang didasarkan pada konsensus dan etiket sosial.

Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
     Guru berperan aktif tidak hanya berkutat pada teks buku tapi juga mengaplikasikannya dalam kelas. Guru dapat mengajak murid-muridnya menyusun dan mengatur kelas, bagaimana kondisi jalannya kelas selama setahun ajaran kedepan dengan peraturan-peraturan yang disisipkan nilai-nilai moral. Contoh seperti itu sudah dapat memberikan contoh konkret kepada murid-murid dan dapat memberikan gambaran dengan lebih jelas pada mereka daripada hanya membaca apa yang ada di dalam buku.
Ada nilai-nilai kejujuran yang selalu diterapkan dalam ujian atau mengerjakan tugas. Juga dapat diterapkan dengan tidak boleh mencuri, mengambil barang tanpa ijin, dan mau mengakui kesalahannya. Nilai-nilai keadilan dengan penyampaian memberikan hadiah kepada murid-murid dan lebih jelas menerangkan hakikat arti keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tolong-menolong jikalau ada salah satu murid yang sakit dan harus tidak masuk sekolah karena dirawat di rumah sakit, atau mungkin jatuh dari sepeda. Nilai-nilai kebersamaan dengan saling menjaga fasilitas sekolah yang merupakan milik bersama. Akur antara teman yang satu dengan teman yang lain. Tidak suka bertengkar, berkelahi, ataupun adanya perselisihan.
    
E.     Perkembangan Bahasa
Secara umum anak-anak mengembangkan kemampuan bahasa dasar sebelum masuk sekolah. Perkembangan bahasa ini meliputi komunikasi lisan dan tulisan. Kemampuan verbal pada anak berkembang sangat dini, saat usia 3 tahun anak sudah terampil dalam berbicara.
Pada beberapa bulan pertama kehidupan, bayi memperlihatkan respons yang mengagumkan terhadap suara atau bunyi yang keras. Kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan, bayi mulai memperlihatkan suatu minat terhadap suara dan dapat meresponsnya. Selanjutnya pada usia 3 hingga 6 bulan berikutnya, bayi mulai mengoceh yang ditentukan khususnya oleh kematangan biologis, dalam tahap ini bayi dapat mengeluarkan suara seperti “goo-goo” dan “gaga”. Tujuan komunikasi bayi sejak dini adalah untuk menarik perhatian orang – orang di sekitarnya, termasuk orang tua. Bayi berkomunikasi dengan menggunakan aspek pragmatis, misalkan menghentikan kontak mata, mengeluarkan suara, atau melakukan tindakan manual seperti menunjuk.
Pada usia sekitar 6 hingga 9 bulan, bayi mulai memahami kata-kata pertama mereka dan pada usia 9 hingga 12 bulan anak sudah dapat memahami pelajaran, seperti ”daa” saat kita mengucapkan selamat tinggal. Perbendaharaan kata pada bayi dimulai ketika bayi mengucapkan kat pertamanya yang biasanya terjadi pada usia 10 hingga 15 bulan. Perbendaharaan kata ucapan bayi meningkat dengan cepat sejak kata pertama diucapkan, yang mencapai rata-rata 200-275 kata pada usia 2 tahun. Kata pertama yang diucapkan anak misalkan ayah, ibu, kucing, mata, atau istilah salam seperti “daa daah”. Kata-kata tersebut merupakan perwakilan dari seluruh kalimat yang ada di pikiran bayi. Karena keterampilan kognitif atau bahasa bayi yang terbatas, hanya satu kata yang mungkin sebagai ganti seluruh kalimat. Hipotesis holofrase (konsep bahwa suatu kata tunggal digunakan untuk mengartikan suatu kalimat sempurna, yang merupakan ciri kata pertama seorang bayi).
Saat usia 18 hingga 24 bulan, anak mulai membuat pernyataan dalam dua kata. Mereka menggunakan cara berbicara telegrafis (penggunaan kata yang singkat dan tepat dalam berkomunikasi, yang merupakan ciri ucapan dua kata pada anak kecil). Misalkan, permen saya, lihat kucing, susu lagi.
Dalam konsep perkembangan bahasa Roger Brown, ia menunjukkan mean length of utterance/MLU ( sebuah indeks perkembangan bahasa yang didasarkan atas jumlah kata per kalimat yang dihasilkan oleh seorang anak dalam suatu sampel yang terdiri dari sekitar 50 hingga 100 kalimat, sebagai suatu indeks kematangan bahasa yang baik).

Tahap – tahap perkembangan bahasa Brown
Tahap
Usia (bulan)
MLU
Karakteristik
Kalimat yang lazim diucapkan
1
12-26
1,00-2,00
Perbendaharaan kata utama terdiri dari banyak kata benda dan kata kerja dengan sedikit kata sifat dan keterangan, urutan kata diperhatikan
Kucing makan
2
27-30
2,00-2,50
Penggunaan kata jamak, menggunakan past tense, be, kata depan, beberapa preposisi
Sepeda maju cepat
3
31-34
2,50-3,00
Menggunakan pertanyaan ya/tidak, kata tanya(apa, siapa, kapan), kalimat sanggahan dan kalimat berita
Ambil gelas itu
4
35-30
3,00-3,75
Melekatkan kalimat yang satu ke kalimat yang lain
Ini mangga yang ayah petik untukku
5
41-46
3,75-4,50
Koordinasi sederhana antar kalimat dan ada hubungan proposional
Terry dan Abby itu saudaraku

Keterangan : MLU bertanda 2,50 menunjukkan bahwa jumlah rata – rata kata pada masing – masing ucapan lebih banyak dari 2,00 tetapi belum sampai 3,00 karena beberapa pengucapan anak masih berbentuk holofrase.
Tahap – tahap Brown penting sebagai indikator perkembangan bahasa yang baik bila dibandingkan semata – mata hanya berdasar usia mereka.

Membaca
Belajar membaca pada kelas-kelas awal sekolah dasar adalah salah satu yang terpenting dari semua tugas perkembangan, karena mata pelajaran lain bergantung pada membca dan karena dalam masyarakat kita keberhasilan sekolah begitu sering disamakan dengan keberhasilan membaca. Proses belajar membaca dapat mulai agak cepat kalau kepada anak-anak dibacakan sesuatu. Riset tentang kemelekhurufan usia dini (emergent literacy), atau pengetahuan dan kemampuan anak-anak prasekolah terkait dengan membaca (Glazer & Burke, 1994; Pressley, 2003), telah memperlihatkan bahwa anak-anak dapat memasuki sekolah dengan pengetahuan yang banyak tentang membaca dan bahwa pengetahuan ini mempunyai andil bagi keberhasilan dalam pengajaran membaca formal.

Kemampuan Menulis
Kemampuan menulis anak-anak mengikuti urutan perkembangan. Kemampuan ini muncul dari coretan-coretan dan pertama-tama tersebar acak-acakan di seluruh halaman buku. Karakteristik ini mencerminkan pemahaman yang tidak lengkap tentang batas-batas kata dan juga ketidakmampuan menciptakan satu baris dalam pikiran untuk menempatkan huruf-huruf. Anak-anak menemukan ejaan dengan melakukan penilaian tentang bunyi dan dengan menghubungkan banyu yang mereka dengar dengan huruf yang mereka kenal. Dalam mencoba untuk menunjukkan apa yang mereka dengar, mereka biasanya menggunakan nama-nama huruf alih-alih bunyi huruf; vokal pendek sering dihilangkan karena tidak langsung berhubungan dengan nama-nama huruf (Snow et al., 1998). Misalnya, seorang murid taman kanak-kanak menamai gambar dinosaurus sebagai “DNSR”. Banyak guru mendorong murid taman kanak-kanak dan siswa kelas satu menulis cerita dengan menggunakan ejaan dicptakan untuk membantu mereka belajar membaca dan juga menulis (Morrow, 1993).

Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
Guru bersama-sama mengajak murid-muridnya untuk rajin membaca buku dengan tujuan mengembangkan kosakata bahasa anak. Mengajak murid-murid membaca perpustakaan sekolah, melakukan kunjungan di perustakaan kota, dan meminta murid-muridnya menceritakan ulang isi buku yang telah mereka baca. Latihan menulis dan mengarang dengan meminta bercerita dalam tulisan setiap setelah ada liburan. Membiasakan mengerjakan teks buku soal-soal bacaan dan kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk mengembangkan penguasaan pemahaman cerita dan bahasa mereka.

F.     Perkembangan Sosial
Menurut Erikson anak-anak bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan juga konsep diri. Pemahaman mengenai perkembangan pribadi dan juga social ini sangat berperan dalam memotivasi, mengajar, dan berinteraksi dengan siswa. Erikson membagi perkembangan pribadi ndan social ini menjadi delapan tahap. Erikson berpendapat bahwa orang melewati delapan tahap dalam hidupnya. Dimasingmasing tahap terdapat maslah-masalah pentng yang harus dihadapi. Dan banyak orang yang melewatinya dengan memuaskan dan kemudian memulai tantangan yang baru. Tetapi bagi orang yang tidak berhasil mengatasi masalahnya harus tetap menghadapinya kemudian dalam hidupnya.
Tahap perkembangan pribadi dan sosial Erikson:
Tahap I : Kepercayaan vs Ketidakpercayaan (Lahir – 18 bulan)
Dalam tahap ini masa bayi bertujuan untuk mengembangakan kepercayaan dasar. Kepercayaan dasar merupakan rasa percaya terhadap orang lain. Apabila semua kebutuhan bayi terpuaskan semua maka akan timbul rasa percaya, namun apabila sang ibu sebagai pemenuh kebutuhan bayi tidak memberikan kebutuhan bayi maka akan timbul ketidakpercayaan.
Tahap II : Otonomi vs Keraguan (18 bulan – 3 tahun)
Pada tahap ini anak-anak mulai berkeinginan untuk memperoleh kekuasaan dan kemerdekaan. Mereka berjuang untuk memperoleh otonomi. Apabila orang tua fleksibel maka anak akan dapat memperoleh otonomi, namun apabila orang tua yang terlalu melarang maka akan timbul keraguan pada anak.
Tahap III : Inisiatif vs Rasa Bersalah (3 – 6 tahun)
Pada usia ini anak-anak mulai agresif dan kuat dalam menjajaki dunia sosialnya. Anak mulai memiliki inisiatif yang besar, yang dapat dibantu oleh orang tua dan juga orang disekitarnya. Apabila orang tua selalu memberikan hukuman pada inisiatif anak-anak maka akan timbul rasa besalah.
Tahap IV : Kerajinan vs Inferioritas (6 – 12 tahun)
Usia ini anak mulai memasuki usia sekolah, dengan ini dunia sosialnya pun bertambah luas. Guru dn juga teman-teman memiliki peran penting bagi anak itu, sedangkan peran orang tua mulai berkurang. Dalamusia ini anak ingin membuat sesuatu, apabila berhasil maka akan membawa kerajinan dan juga rasa bangga terhadap diri sendiri. Namun bila mengalami kegagalan maka akan membuat citra negatifbdan rasa ketidakmemadaian yang dapat menghambat pembelajaran masa mendatang.
Tahap V : Identitas vs Kebingingan Peran (12 – 18 tahun)
Dalam tahap ini akan timbul banyak pertanyaan mengenai “siapa saya?”. Remaja mulai menjauhkan diri dari orang tua dan mulai mendekati kelompok sebayanya. Disini remaja mulai melakukan eksperimen dengan berbagai peran untuk menemukan siapa diri mereka.
Tahap VI : Keintiman vs Keterasingan (Dewasa Awal)
Setelah menemukan siapa dirinya maka mereka sekarang siap membentuk hubungan kepercayaan dan keintimn baru dengan orang lain. Sedangkan bagi mereka yang tidak mencari keintiman seperti itu akan menarik diri dalam keterasingan.
Tahap VII : Daya Regenerasi vs Penyerapan-Diri (Dewasa Pertengahan)
Daya regenerasi adalh sebuah upaya untuk membentuk dan menuntun generasi berikutnya. Namun apabila mereka tidak tumbuh, rasa  “stagnasi dan pemiskinan antar-pribadi” terbentuk, yang mengakibatkan penyerapan diri.
Tahap VIII : Integrasi vs Kepuasan (Dewasa Akhir)
Di dalam tahap ini orang akan kembali melihat seluruh masa hidupnya. Penerimaan pencapaian, kegagalan, dan keterbatasan membawa suatu rasa integritas. Namun kematian juga harus dihadapi. Keputusasaan dapat terjadi dalam diri orang yang menyesali cara mereka menjalani hidup.


Isu-isu Pendidikan dalam Sekolah Dasar
Di usia sekolah menurut Erikson anak-anak mengalami krisis Kerajinan vs Inferioritas. Yang berperan penting dalam tahap ini adalah guru dan juga teman. Sedangakan kebanyakan di Indonesia banyak guru yang tidak memahami konsep ini. Sehingga banyak anak yang mengalami kegagalan dan terciptanya citra diri negatif yang dapat menghambat pembelajaran masa mendatang. Banyak guru yang sering menghukum anak-anak bila mereka melakukan kesalahan, dan itu membuat anak merasa gagal. Namun bila anak-anak yang berhasil maka mereka akan memperoleh pujian sehingga akan timbul rasa kerajinan dan juga rasa bangga.

Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
Guru mengajak murid-muridnya mengerjakan tugas dengan membagi kelompok supaya ada interaksi antara murid satu dengan murid yang lain untuk bekerja sama. Adanya penguatan-penguatan (reinforcement) yang positif kepada anak untuk menumbuhkembangkan motivasi mereka dan menyatakan bahwa mereka bisa.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dunia pendidikan sangatlah erat dengan dunia perkembangan anak. Dua hal tersebut saling berkaitan dan berhubungan untuk membangun pendidikan yang baik dan maju. Aspek fisik, kognitif, moral, bahasa, dan sosial adalah faktor-faktor yang perlu diketahui oleh setiap pendidik untuk mengembangakan generasi muda yang baik dan berkompeten. Sistem kurikulum dan metode pengajaran juga tentu akan lebih berhasil jika mengikuti dan menyeimbangkan dengan aspek perkembangan anak. Aplikasi dan penangkapan informasi dari para murid pun akan lebih terarah dan jelas. Aspek fisik menjelaskan bahwa pada perkembangan ini tubuh anak-anak tidak dapat diforsir namun tetap harus aktif untuk merangsang kebugaran jasmani. Olahraga yang teratur dapat meningkatkan fisik anak dan kesehatan anak semakin membaik. Aspek kognitif yaitu berkutat pada kemampuan anak dalam berpikir. Guru harus paham bagaimana kemampuan dan polo berpikir anak, sehingga guru dapat menyamakan dan seimbang dalam menyampaikan mata pelajaran. Tidak muluk-muluk dengan bahasa tingkat tinggi yang berkaitan dengan aspek bahasa. Memberikan contoh konkret yang ada di lingkungan sekitar kehidupan sehari-hari akan lebih mempermudah pemahaman murid. Latihan membaca dan menulis harus selalu didorong oleh guru supaya perrkembangan bahasa anak dapat maksimal. Aspek moral yang dimasukkan dapat kehidupan sehari-hari belajar mengajar di kelas. Moral tidak hanya merupakan pelajaran yang hanya ada pada buku, namun juga merupakan pelajaran kehidupan. Serta aspek sosial, dengan aktif selalu melakukan interaksi dengan mengelaborasi dan mengevalusi terhadap murid muridnya.


B.     Saran
1.      Adanya tambahan gerak badan, yaitu senam di pagi hari di setiap sekolah guna mengembangkan aspek fisik.
2.      Jam sekolah yang disesuaikan umur murid-murid sehingga tidak terforsir dan daya tahan tubuh anak tetap kuat dan mampu berkonsentrasi penuh.
3.      Adanya mata pelajran ketrampilan dan kerajinan tangan untuk mengembangkan aspek motorik halus anak.
4.      Mengajak anak-anak untuk melakukan kerja kelompok dan memberikan pekerjaan tumah untuk mengembangkan aspek perkembangan kognitif anak.
5.      Memberikan contoh-contoh konkret dari setiap pelajaran yang diberikan supaya anak dapat menerima informasi dengan baik dan dapat melakukan pemahaman.
6.      Adanya penanaman nilai-nilai moral yang disisipkan dalam kehidupan kelas.
7.      Guru aktif mengajak dan mengajari membaca dan menulis.
8.      Guru aktif mengajak murid-muridnya berinteraksi, baik guru dengan murid atau murid dengan murid untuk mengembangkan aspek sosialnya. Juga dengan lingkup masyakarat yang ada disekitar kehidupan sehari-hari.






DAFTAR  PUSTAKA

-          Elliot, SN., Kratochwill, TR. 1999. Educational Psychology Effective Teaching, Effective Learning. Littlefield.
-          Parsons, RD, dkk. 2001. Educational Psychology, A Practitioner-Researcher Model of Teaching. Canada: Thompson Learning Inc.
-          Slavin, RE. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi Kedelapan. Jakarta: Indeks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar