BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Selama
perjalanan hidup, anak-anak mengalami perubahan-perubahan yang menakjubkan.
Kebanyakan perubahan ini terlihat jelas, yaitu anak-anak tumbuh semakin besar,
lebih cerdas, lebih mahir secara sosial, dan seterusnya. Namun, banyak aspek
berkembangan tidak nempak begitu jelas. Masing-masing anak berkembang dengan
cara yang berbeda dan dengan kecepatan yang berbeda, dan perkembangan
dipengaruhi oleh budaya, pengasuhan, pendidikan, dan faktor-faktor lain. Setiap
guru perlu memahami bagaimana anak-anak tumbuh dan berkembang agar sanggu
memahami bagaimana anak-anak belajar dan apa cara terbaik untuk mengajari
mereka.
B.
Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk memenuhi tugas Psikologi Pendidikan
2.
Mengetahui teori perkembangan anak usia Sekolah Dasar dan
hubungannya dalam dunia pendidikan.
3.
Memberikan gagasan baru mengenai aplikasi perkembangan dalam dunia
pendidikan tingkat Sekolah Dasar.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah
perkembangan merujuk bagaimana orang tumbuh, menyesuaikan diri, dan berubah
sepanjang perjalanan hidup mereka, melalui perkembangan fisik, perkembangan
kepribadian (moral), perkembangan sosial
emosianal, perkembangan kognitif, dan perkembangan bahasa. Salah satu
persyaratan pertama pengajaran yang efektif ialah bahwa guru memahami bagaimana
sisw bepikir dan bagaimana mereka memandang dunia ini. Startegi pengajaran yang
efektif harus memperhitungkan usia dan tahap perkembangan siswa.
A.
Masalah-masalah
Perkembangan
Dua masalah utama yang perlu
diperhatikan dalam perkembangan ialah sejauh mana
perkembangan dipengaruhi oleh pengalaman atau apakah perkembangan berlangsung
secara bertahap.
- Kontroversi Alam-Pengasuhan
Dewasa
ini banyak pakar psikologi perkembangan (misalnya Berk, 2003; Berk, Bee &
Boyd, 2003; Cook & Cook, 2005; Fabes & Martin, 2000) percaya bahwa alam
(nature) dan pengasuhan (nurture) memberi pengaruh terhadap perkembangan dengan
faktor-faktor biologi yang berperan lebih kuat dalam beberapa aspek seperti
perkembangan fisik dan faktor-faktor lingkungan yang berperan lebih kuat dalam
aspek lain,
seperti perkembangan moral.
- Teori Berkelanjutan dan Terputus
Masalah
kedua ini berkisar di seputar pandangan tentang bagaimana perubahan terjadi.
Teori perkembangan berkelanjutan (continuous
theories of development) terjadi dalam langkah yang mulus karena kemampuan
berkembang dan pengalaman dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungan. Teori
perkembangan berkelanjutan lebih menekankan peran penting lingkuan daripada
keturunan.
Di
lain pihak ada anggapan bahwa anak-anak
bertumbuh melalui tahap perkembangan yang dapat diprediksi dan tidak berbeda.
Semua anak diyakini memiliki kemampuan berkembang dengan urutan yang sama,
walaupun kemajuan tiap anak berbeda. Dalam masing-masing tahap, anak-anak
mengembangkan pemahaman, kemampuan, dan keyakinan yang berbeda secara
kualitatif. Melompati tahap adalah hal yang mustahil, walaupun ada anak
tertentu yang dapat memperlihatkan perilaku dengan karakteristik lebih. (Zigler
& Gillman, 1998)
Berbeda
dengan teori berkelanjutan, teori perkembangan terputus (Discontinuous Theories of Development) ini terpusat pada faktor
bawaan lahir daripada faktor lingkungan. Kondisi lingkungan memang dapat
mempercepat perkembangan tetapi urutan tahap-tahap perkembangan pada dasarnya
sudah tetap.
B.
Perkembangan Fisik
Sistem-sistem rangka dan otot selama tahun-tahun sekolah dasar, anak-anak tumbuh rata-rata 5 hingga 7 cm setahun, sehingga
pada usia 11 tahun tinggi rata-rata
anak perempuan 147 cm dan rata-rata
anak laki-laki
146 cm. Selama tahun-tahun
pertengahan dan akhir masa anak-anak, berat anak-anak bertambah hingga 3,2 kg per tahun.
Berat meningkat terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka dan otot,
serta ukuran beberapa organ tubuh. Bertambahnya kekuatan otot karena faktor
keturunan dan olahraga. Kemampuan-kemampuan
kekuatan otot mereka berlipat ganda selama tahun-tahun sekolah dasar. Karena besarnya
jumlah sel-sel
otot mereka, anak laki-laki
umumnya lebih kuat daripada anak perempuan.
Keterampilan Motorik
Selama usia sekolah dasar perkembangan
motorik anak-anak
menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi daripada masa awal anak- anak.
Ketika anak-anak
memasuki tahun-tahun sekolah dasar, mereka memperoleh
kendali yang lebih besar atas tubuh mereka, tetapi mereka jauh dari kedewasaan
fisik dan mereka harus aktif. Tindakan fisik penting bagi anak-anak untuk memperhalus keterampilan-keterampilan mereka yang sedang
berkembang. Oleh karena itu, pada prinsipnya anak-anak sekolah dasar harus terlibat secara
aktif daripada pasif di dalam berbagai kegiatan. Meningkatnya myelin, yaitu suatu selubung syaraf-syaraf yang menolong impuls syaraf
bergerak lebih cepat di sistem syaraf pusat tercermin dalam perbaikan
keterampilan-keterampilan
motor kasar selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Anak-anak berusia 6 tahun dapat memukul,
meninju, mengikat tali sepatu, dan mengancingkan baju. Pada usia 7 tahun tangan
anak-anak menjadi
lebih kuat, mereka lebih menyukai pensil dalam menggambar, dan dapat menulis
lebih kecil dan rapi. Di usia 8-10
tahun, ananak dapat menggunakan tangannya dengan lebih focus dan bebas. Usia 10-12 tahun gerakan tangan anak lebih
kompleks, rumit, dan cepat dalam menghasilkan karya dan kerajinan dengan mutu
bagus tapi masih sulit dalam memainkan instrumen musik.
Aplikasi dalam Dunia
Pendidikan
1.
Jam
pelajaran siswa Sekolah Dasar
Di Indonesia,
sistem pengaturan jam belajar di Sekolah Dasar sudah cukup baik. Pada kelas 1,
biasanya pukul 10 sudah pulang dan begitu seterusnya meningkat hingga kelas 6.
Pengaturan jam belajar yang seperti ini sangat baik mengingat perkembangan
fisik anak jangan sampai terforsir. Namun, ada pula sekolah yang walau kelas 1
namun sudah diberlakukan jam pulanngya pukul 15.00, lalu meningkat pada kelas 6
pulang pukul 17.00. Sistem yang seperti ini terdapat di sekolah Sekolah Dasar
Islam Terpadu (SDIT). Jangan salah sangka bahwa kegiatan belajar mengajar
formal dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari. Di SDIT, selain berfungsi
sebagai sekolah tempat belajar mengajar, juga berfungsi sebagai tempat
penitipan anak. Di jaman yang penuh teknologi sekarang ini, menjadikan banyak
orang tua yang disibukkan dengan pekerjaannya sehingga tidak bisa mengurus anak
di jam-jam kerja. Untuk itu, banyak dari mereka lebih memilih menyekolahkan anak-anak
mereka di SDIT yang jam sekolahnya hingga sore daripada hanya meninggalkan anak
mereka di rumah bersama pembantu mereka. Tidak melulu belajar formal namun juga
ada jam bermain, makan, bahkan tidur siang. Suasana yang menyenangkan dikemas
dalam sekolah ini dengan tujuan supaya anak-anak tidak merasa lelah dan masih
tetap dapat berkonsentrasi penuh.
2.
Olahraga
Pelajaran
olahraga menjadi salah satu pelajaran penting dalam kurikulum pendidikan
Sekolah Dasar. Untuk mengembangkan fisik yang sehat dan bugar, olahraga tidak
hanya disisipkan dalam pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan saja. Pada
masa perkembangan, anak harus didorong aktif untuk bergerak, untuk itu biasanya
ada di beberapa sekolah yang mewajibkan adanya olahraga yang dilakukan juga
diluar jam belajar. Salah satunya adalah senam yang selalu dilakukan di pagi
hari sebelum melakukan aktifitas belajar mengajar. Kegiatan senam ini dapat
diadakan seminggu dua kali atau seminggu empat kali.
3.
Ketrampilan
dan kerajinan tangan
Dengan
memadukan aspek kognitif dan kreativitas dalam pengajaran ketrampilan dan kerajinan
tangan, motorik halus anak-anak diasah dan dikembangkan. Di Indonesia, sudah
banyak beberapa sekolah yang dalam kurikulumnya terdapat pelajaran ketrampilan
dan kerajinan tangan ini. Biasanya sekolah akan melaksanakannya seminggu sekali
dalam jadwal belajar mengajar siswa.
C.
Perkembangan Kognisi
Ada dua teori
yang sering digunakan dalam psikologi untuk melihat perkembangan kognitif.
Yaitu teori perkembangan kognitif Piaget dan teori perkembangan kognitif
Vygotsky.
a. Teori
perkembangan kognitif Piaget
Piaget yakin
bahwa semua anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan untuk berinteraksi
dengan lingkungan dan memahaminya. Untuk mencapai pemahaman ini, otak membangun
skema atau peta pikiran (mind map)
yaitu pola pikiran atau perilaku. Dalam perkembangannya, anak akan menerima informasi baru dan
skemanya akan menjadi lebih kompleks. Menurut Piaget proses ini disebut
adaptasi. Anak-anak melakukan adaptasi kogintif melalui dua cara, yaitu assimilasi
dan akomodasi. Assimilasi adalah memahami atau menambahkan informasi yang baru
ke dalam skema yang sudah ada sedangkan akomodasi adalah mengubah skema yang
sudah ada agar sesuai dengan informasi yang baru. Dalam proses adaptasi ini,
akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium)
antara apa yang dipahami dan apa yang ditemukan. Untuk menguranginya maka anak
akan melakukan equilibrisasi. Teori
perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, suatu pandangan tentang
perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak-anak secara aktif membangun
sistem pengertian dan pemahaman tentang realitas melalui pengalaman dan
interaksi mereka.
Tahap-tahap Perkembangan Menurut Piaget
Teori
perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecerdasan atau kemampuan kognisi
seseorang anak mengalami kemajuan dalam empat tahapan yang jelas.
Tahapan-tahapan itu adalah tahap: sensorimotor, praoperasional, operasional
konkret, operasional formal. Masing-masing tahap dicirikan oleh kemunculan
kemampuan-kemampuan baru dan cara mengubah informasi.
i.
Tahap
Sensorimotor (lahir hingga 2 tahun)
Tahap paling
awal disebut sensorimotor karena pada tahp ini bayi dan anak kecil menjajaki
dunia mereka dengan menggunakan indera mereka dan kemampuan motor mereka. Ciri
lain yang terjadi pada tahap ini adalah:
a.
Egocentrism,
yaitu melihat sesuatu dari sudut pandang mereka
b.
Ketetapan
objek, yaitu fakta bahwa suatu objek ada sekalipun tidak terlihat
c.
Konsep
ruang dan waktu, yaitu kesadaran bahwa ada jarak antara objek
d.
Hubungan
sebab akibat, yaitu mereka mulai
membedakan antara perilaku mereka sebagai penyebab dan menemukan pada kejadian
yang lain.
ii.
Tahap
Praoperasional (usia 2 hingga 7 tahun)
Tahap dimana
anak-anak belajar melambangkan segala sesuatu dalam pikiran. Mereka mulai
mengekspresikan apa yang mereka ketahui lewat lukisan atau kata-kata. Selama
tahap praoperasional, bahasa dan konsep anak-anak berkembang secara luar biasa.
Namun pada tahap ini pemikiran anak-anak masih primitif. Ciri pemikirannya
adalah:
a.
Tidak
mempunyai pemahaman tentang konservasi, yaitu konsep bahwa sifat objek tertentu
akan tetap sama walaupun terjadi perubahan sifat lainnya.
b.
Keterpusatan
(Centering), yaitu memberikan
perhatian hanya pada satu objek atau situasi.
c.
Irreversibilitas
(Irreversibility), yaitu
ketidakmampuan untuk membalikkan pemikiran mereka. Misalnya anak-anak bisa menghitung 2+2=4, tetapi mereka
tidak mengerti bahwa 4-2=2.
d.
Realisme,
yaitu berkembangnya kemampuan untuk membedakan dan menerima dunia nyata.
e.
Animisme,
yaitu kepercayaan bahwa semua benda adalah hidup.
f.
Artifisialisme,
yaitu mengumpamakan segala sesuatu adalah produk atau buatan manusia.
iii.
Tahap
Operasional Konkret (usia 7 hingga 11 tahun)
Tahap ketika
anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar logis dan memahami konservasi tetapi
hanya dapat menggunakan kedua kemampuan ini dalam mengahadapi situasi yang
sudah dikenal atau nyata(konkret). Selama masa-masa sekolah dasar, kemampuan
kognitif anak-anak mengalami perubahan-perubahan dramatis. Anak-anak sekolah
dasar tidak lagi mengalami kesulitan dengan masalah konservasi, karena mereka
telah memperoleh konsep reversibilitas. Tugas penting yang dipelajari anak-anak selama tahap operasional konkret
adalah:
a.
Pengurutan
(seriation), yaitu kemampuan untuk
menyusun objek secara meningkat atau menurun.
b.
Klasifikasi
(classification), yaitu menggolongkan
objek sesuai suatu kriteria atau dimensi
c.
Transivisitas,
yaitu kemampuan menyusun dan membandingkan objek-objek dalam pemikiran.
iv.
Tahap
Operasional Formal (usia 11 hingga dewasa)
Tahap dimana
seseorang dapat menghadapi situasi hipotetis dengan abstrak dan dapat bernalar
secara logis.
Isu-isu dalam Pendidikan Sekolah Dasar
Anak-anak pada
usia sekolah dasar (usia 7 hingga 11 tahun) menurut teori perkembangan kognitif
berada dalam tahap operasional konkret.
1.
Pelajaran
yang menekankan pada definisi
Anak-anak sekolah
dasar belum mampu mencerna sesuatu hal yang bersifat abstrak. Seperti definisi
atau pengertian yang bahkan terkadang mereka belum mengenal kata-kata itu
sebelumnya. Misalnya saja dalam pelajaran Kewarganegaraan atau Sosial. Dalam
pelajaran Sosial kelas dua SD sudah ada materi tentang emansipasi. Pengertian
emansipasi dijelaskan dengan kata-kata yang juga bersifat abstrak yaitu
persamaan kedudukan dan hak antara laki-laki dan perempuan. Yang kemudian
menjadi pertanyaannya adalah apakah anak-anak kelas dua SD sudah paham tentang
apa itu hak dan bahkan emansipasi itu sendiri?
Yang perlu
diperhatikan oleh guru adalah seharusnya mereka mampu mendefinisikan arti kata
emansipasi itu dalam bentuk yang konkret. Misalnya memberikan cerita tentang
perjuangan R.A. Kartini atau memberikan contoh-contoh pekerjaan yang sekarang
banyak dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.
Tidak hanya dalam definisi kata-kata yang mungkin saja para siswa itu
mampu menghafalnya tetapi tidak paham apa itu emansipasi.
2.
Menghafal
Banyak pelajaran
tingkat sekolah dasar yang menuntut untuk hafalan. Contoh paling klasik adalah
hafalan perkalian pada anak kelas dua SD. Dalam hafalan maka guru lebih
menekankan pada hasil yang cepat dan tepat bukan bagaimana proses memperoleh
hasil tersebut yang tentunya menentukan sejauh mana pemahaman siswa. Kemampuan
mengahafal setiap siswa tentunya berbeda satu sama lain. Hal inilah yang
seharusnya dimengerti oleh setiap guru. Misalnya saja dalam soal 4x4, siswa A
bisa saja menjawab lebih cepat daripada siswa B karena kemampuan menghafal si A
lebih baik tetapi siswa B belum tentu tidak mengerti karena dalam hal ini siswa
B menghitung dengan cara 4+4+4+4=16.
Meskipun lebih lambat tetapi siswa B mempunyai pemahaman dari konsep perkalian
itu sendiri.
3.
Klasifikasi
dan soal membandingkan
Pada tahap operasional konkret, kemampuan klasifikasi dan membandingkan antar
objek pada anak-anak usia sekolah dasar mulai berkembang. Ini yang seharusnya
diperhatikan para guru untuk menerapakan pembelajaran yang sesuai sehingga
mereka bisa menerima materi yang diajarkan. Misalnya saja dalam pelajaran
SAINS, anak-anak diajak mengelompokkan buah-buahan berdasar kesamaan ciri-ciri
yang dimiliki, buah berbiji banyak dan berbiji sedikit, dengan menyuruh siswa
membawa buah yang telah ditentukan atau mungkin hanya gambar buah-buahan.
Dengan cara seperti ini siswa akan lebih tertarik dan lebih paham daripada
hanya mengajarkan materi secara text
book.
- Teori perkembangan kognitif Vygotsky
Vygotsky
berpendapat bahwa perkembangan kognisi sangat terkait dengan masukan dari
orang-orang lain. Teori Vygotsky menekankan pada pembelajaran yang melibatkan
perolehan tanda-tanda melalui pengajaran dan pemroresan informasi dari orang
lain. Perkembangan melibatkan internalisasi anak terhadap tanda-tanda ini
sehingga mereka mampu memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Konsep ini
disebut self regulation atau
pengaturan diri.
Selain itu
Vygotsky juga menekankan pada mekanisme percakapan pribadi. Dimana seorang anak
menyerap informasi yang diperoleh dari orang lain kemudian menggunakan percakapan itu untuk
membantu dirinya sendiri memecahkan masalah. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi ketika anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal
mereka (zone of proximal devolepment),
yaitu ketika seorang anak masih belum dapat mengerjakan tugas secara mandiri
tetapi dapat dikerjakan dengan bantuan orang lain atau teman yang lebih
kompeten.
Aplikasi dalam Dunia
Pendidikan
- Pembelajaran dengan kerja kelompok.
Pembentukan
kelompok-kelompok kecil di kelas akan membantu siswa belajar lebih aktif
daripada mereka hanya mendengarkan guru berceramah. Anggota-anggota kelompok
bisa diatur dengan pendistribusian kemampuan yang merata. Siswa yang dianggap
lebih kompeten dibagi rata dalam setiap kelompok sehingga mereka bisa membantu
teman lainnya yang kurang paham. Pemberian tugas secara berkelompok juga
merangsang siswa menyalurkan pendapatnya dalam kelompok-kelompok kecil dalam
penyelesaian suatu soal. Pembentukan kelompok-kelompok kecil ini juga mebantu
siswa bersosialisasi satu sama lain.
- Pemberian pekerjaan rumah.
Pemberian pekerjaan
rumah ini secara moral juga mebentuk tanggung jawab siswa terhadap tugas yang
diberikan. Dalam hubugannya dengan teori Vygotsky pekerjaan rumah juga
memberikan kesempatan belajar kepada siswa untuk menyelesaikan tugas atau soal
yang mereka anggap sulit dengan bantuan orang di rumah atau orang lain,
misalnya guru prifat, yang lebih kompeten. Pada anak usia sekolah dasar
seyogyanya pemberian PR ini tidak terlalu menyita waktu mereka untuk bermain
setelah lelah belajar di sekolah. Pemberian pekerjaan rumah hendakanya
memperhitungkan waktu istirahat siswa.
- Mengajarkan dengan contoh konkret.
Mengajarkan
anak-anak mengenai hal-hal yang abstrak yang terdapat dalam kurikulum pelajaran
dengan menggunakan contoh-contoh konkret. Untuk itu di sini guru memiliki peran
aktif dan harus mengetahui metode cara pengajaran yang bagaimana supaya
anak-anak dapat menangkap dan mengerti atas informasi apa yang telah
disampaikan. Guru harus sangat mengerti bagaimana murid-muridnya, emosinya,
bakat, dan kemampuan mereka. Tidak hanya berkutat pada teks buku tapi juga ikut
mengaplikasikannya dengan kehidupan sehari-hari yang ada di lingkup sekitar.
D.
Perkembangan Moral
Tahap-tahap penalaran moral menurut Kohlberg
Teori tahap
Kohlberg (1963, 1969) tentang penalaran moral adalah penjabaran dan berbaikan
terhadap teori Piaget. Sama seperti Piaget, Kohlberg mempelajari bagaimana
anak-anak bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku mereka dalam situasi
tertentu. Kohlberg tidak mempelajari permainan anak-anak, tetapi lebih
menyelidiki tanggapan mereka terhadap beberapa situasi yang terstruktur atau
dilema moral.
Kohlberg
berpendapat bahwa orang melewati rangakaian enam tahap pernilaian atau
penalaran moral. Tingkat-tingkat dan tahap-tahap Kohlberg:
I.
Tingkat Prakonvensional
|
II.
Tingkat Konvensional
|
III.
Tingkat Pasca-konvensional
|
Aturan diletakkan orang-orang lain.
Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Konsekuensi fisik tindakan menentukan kebaikan dan
keburukannya.
Tahap 2: Orientasi Relativis Instrumental
Apa yang benar adalah apa saja yang memuaskan kebutuhan
diri sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang-orang lain. Unsur-unsur
keadilan dan ketimbalbalikan ada, tetapi kebanyakan ditafsirkan dalam bentuk
“Anda menggaruk punggung saya, saya akan menggaruk unggungmu.”
|
Individu menganut aturan dan kadang akan menomor-duakan
kebutuhan sendiri di belakang kebutuhan kelompok. Harapan keluarga, kelompok,
atau bangsa dipandang bernilai pada dirinya, tanpa peduli konsekuensi-konsekuensinya.
Tahap 3: Orientasi “Anak Baik”
Perilaku yang baik adalah apa saja yang menyenangkan
atau membantu orang lain dan disetujui oleh mereka. Sese-orang memperoleh
perse-tujuan dengan bersikap “manis”.
Tahap 4: Orientasi “Hukum dan Keteraturan”
Benar berarti melakukan kewa-jiban sesorang, dengan
mem-perlihatkan sikap hormat ke-pada orang berwenang, dan mempertahankan
tatanan sosial tertentu pada dirinya.
|
Orang mendefinisikan nilai-nilainya sendiri dari sudut
prinsip-prinsi etika yang telah mereka pilih untuk diikuti.
Tahap 5: Orientasi Kontrak Sosial
Apa yang benar ditentukan dari sudut hak-hak individu
umum dan dari sudut standar yang telah disepakati oleh seluruh masya-rakat.
Berbeda dari tahap 4, undang-undang tidak ‘beku” ha itu dapat diubah demi
kebaikan masyarakat.
Tahap 6: Orientasi Prinsip Etika Universal
Apa yang benar ditentukan oleh keputusan suara hati
menurut prinsip-prinsip etika yang dipilih pribad. Prinsip-prinsip ini adalah
abstrak dan etis, bukan ketentuan moral spesifik.
|
Usia pada saat
anak-anak mengalami tahap-tahap tadi mungkin saja sangat berbeda-beda, bahkan
orang yang sama mungkin saja berperilaku menurut tahap yang satu dalam beberapa
lama dan menuntut tahap lainnua dalam saat-saat lainnya. Namun, kebanyakan anak
melewati tingkat prakonvensional ke konvensional pada usia 9 tahun (Kohlberg,
1969).
Tahap 1, yang
berada pada tingkat prakonvensional moralitas, mempunyai bentuk dan isi yang
sangat mirip dengan tahap moralitas heteronom Piaget. Anak-anak hanya mematuhi
sosk-sosok yang berwenang untuk menghindari dihukum. Dalam Tahap 2, kebutuhan
dan keinginan sendiri anak-anak menjadi penting, namun mereka sadar dengan
kepentingan orang lain. Dalam pengertian konkret, mereka menimbang-nimbang
kepentingan semua pihak ketika melakukan penilaian moral, tetapi mereka masih
“menjadikan diri sebagai nomor satu”. Tingkat konvensional moralitas mulai pada
Tahap 3. Di sini moralitas didefinisikan dari sudut kerja sama dengan
teman-teman, tepat seperti yang terjadi dalam tahap moralitas otonom Piaget.
Ini adalah tahap di mana anak-anak mempunyai keyakinan yang tidak dapat
dipertanyakan bahwa seseorang seharusnya “berbuat kepada orang-orang lain
sebagaimana Anda menginginkan mereka berbuat kepada Anda.” Karena penurunan
egosentrisme yang menyertai kegiatan konkret, anak-anak secara kognitif sanggup
menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Mereka dapat mempertimbangkan
perasaan orang-orang lain ketka mengambil keputusan moral. Mereka tidak lagi
hanya melakukan apa yang tidak mengakibatkan mereka dihukum (Taha 1) atau
membuat mereka bahagia (Tahap 2). Pada Tahap 4, peraturan dan undang-undang
masyarakat menggantikan peraturan dan undang-undang kelompok sebaya. Keinginan
untuk memperoleh persetujuan masyarakat tidak lagi menentukan penilaian moral.
Undang-undang ditaati tanpa pertanyaan, dan pelanggaran hukum tidak akan daat
dibenarkan. Tahap 5 menandakan pintu masuk ke tingkat pasca-konvensional
moraltas. Tingkat penalaran moral ini diperoleh di bwah 25 persen orang dewasa,
menurut Kohlberg. Tahap 6, prinsip-prinsip etika seseorang dipilih sendiri dan
didasarkan pada konsep-konsep abstrak seperti keadlian, kesetaraan, dan nilai
hak asasi manusia.
Kritik terhadap teori Kohlberg
Salah satu
keterbatasan karya Kohlberg ialah bahwa kebanyakan melibatkan anak laki-laki.
Riset tentang penalaran moral anak perempuan menemukan pola yang agak berbeda
dari pola yang disodorkan Kohlberg. Apabila penalaran moral anak laki-laki
terutama berkisar diseputar masalah keadilan, anak-anak perempuan lebih tertarik
dengan msalah-masalah kepedulian dan tanggung jawab terhadap orang-orang lain
(Gilligan, 1982; 1985; Gilligan & Attanucci, 1988; Haspe & Baddeley,
1991).
Kritik lain,
bahwa anak-anak sering dapat bernalar tentang situasi moral dengan cara yang
lebih canggih daripada tahap yang diusulkan teori (Rest, Edwards & Thoma,
1997). Misalnya, anak-anak yang berusia 6-10 tahun pada tahap moralitas
heteronomm juga telah diperhatikan menarik perbedaan antara aturan yang
dibenarkan untuk dibuat dan ditegakkan orang tua dan aturan yang berada di
bawah juridiksi pribadi dan teman-teman (Laupa, 1991; Tisak & Tisak, 1990).
Akhirnya, Turiel (1998), telah berpendapat bahwa anak-anak menarik perbedaan
antara aturan-aturan moral, seperti tidak boleh berdusta dan mencuri, yang didasarkan
pada prinsip-prinsip keadilan, dan aturan-aturan sosial-konvensional, seperti
tidak boleh mengenakan piyama di sekolah, yang didasarkan pada konsensus dan
etiket sosial.
Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
Guru berperan aktif tidak hanya berkutat pada teks buku
tapi juga mengaplikasikannya dalam kelas. Guru dapat mengajak murid-muridnya
menyusun dan mengatur kelas, bagaimana kondisi jalannya kelas selama setahun
ajaran kedepan dengan peraturan-peraturan yang disisipkan nilai-nilai moral.
Contoh seperti itu sudah dapat memberikan contoh konkret kepada murid-murid dan
dapat memberikan gambaran dengan lebih jelas pada mereka daripada hanya membaca
apa yang ada di dalam buku.
Ada
nilai-nilai kejujuran yang selalu diterapkan dalam ujian atau mengerjakan tugas.
Juga dapat diterapkan dengan tidak boleh mencuri, mengambil barang tanpa ijin,
dan mau mengakui kesalahannya. Nilai-nilai keadilan dengan penyampaian
memberikan hadiah kepada murid-murid dan lebih jelas menerangkan hakikat arti
keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tolong-menolong jikalau ada
salah satu murid yang sakit dan harus tidak masuk sekolah karena dirawat di
rumah sakit, atau mungkin jatuh dari sepeda. Nilai-nilai kebersamaan dengan
saling menjaga fasilitas sekolah yang merupakan milik bersama. Akur antara
teman yang satu dengan teman yang lain. Tidak suka bertengkar, berkelahi,
ataupun adanya perselisihan.
E.
Perkembangan Bahasa
Secara umum anak-anak mengembangkan kemampuan bahasa
dasar sebelum masuk sekolah. Perkembangan bahasa ini meliputi komunikasi lisan
dan tulisan. Kemampuan verbal pada anak berkembang sangat dini, saat usia 3
tahun anak sudah terampil dalam berbicara.
Pada beberapa bulan pertama kehidupan,
bayi memperlihatkan respons yang mengagumkan terhadap suara atau bunyi yang
keras. Kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan, bayi mulai memperlihatkan suatu
minat terhadap suara dan dapat meresponsnya. Selanjutnya pada usia 3 hingga 6
bulan berikutnya, bayi mulai mengoceh yang ditentukan khususnya oleh kematangan
biologis, dalam tahap ini bayi dapat mengeluarkan suara seperti “goo-goo” dan
“gaga”. Tujuan komunikasi bayi sejak dini adalah
untuk menarik perhatian orang – orang di sekitarnya, termasuk orang tua. Bayi
berkomunikasi dengan menggunakan aspek pragmatis, misalkan menghentikan kontak
mata, mengeluarkan suara, atau melakukan tindakan manual seperti menunjuk.
Pada usia sekitar 6 hingga 9 bulan, bayi
mulai memahami kata-kata
pertama mereka dan pada usia 9 hingga 12 bulan anak sudah dapat memahami
pelajaran, seperti ”daa” saat kita mengucapkan selamat tinggal. Perbendaharaan
kata pada bayi dimulai ketika bayi mengucapkan kat pertamanya yang biasanya
terjadi pada usia 10 hingga 15 bulan. Perbendaharaan kata ucapan bayi meningkat
dengan cepat sejak kata pertama diucapkan, yang mencapai rata-rata 200-275 kata pada usia 2 tahun. Kata pertama
yang diucapkan anak misalkan ayah, ibu, kucing, mata, atau istilah salam
seperti “daa daah”. Kata-kata
tersebut merupakan perwakilan dari seluruh kalimat yang ada di pikiran bayi.
Karena keterampilan kognitif atau bahasa bayi yang terbatas, hanya satu kata
yang mungkin sebagai ganti seluruh kalimat. Hipotesis
holofrase (konsep bahwa suatu kata tunggal digunakan untuk mengartikan
suatu kalimat sempurna, yang merupakan ciri kata pertama seorang bayi).
Saat usia 18
hingga 24 bulan, anak mulai membuat pernyataan dalam dua kata. Mereka
menggunakan cara berbicara telegrafis (penggunaan
kata yang singkat dan tepat dalam berkomunikasi, yang merupakan ciri ucapan dua
kata pada anak kecil). Misalkan, permen saya, lihat kucing, susu lagi.
Dalam konsep
perkembangan bahasa Roger Brown, ia menunjukkan mean length of utterance/MLU ( sebuah indeks perkembangan bahasa
yang didasarkan atas jumlah kata per kalimat yang dihasilkan oleh seorang anak
dalam suatu sampel yang terdiri dari sekitar 50 hingga 100 kalimat, sebagai
suatu indeks kematangan bahasa yang baik).
Tahap – tahap perkembangan bahasa Brown
Tahap
|
Usia (bulan)
|
MLU
|
Karakteristik
|
Kalimat yang lazim diucapkan
|
1
|
12-26
|
1,00-2,00
|
Perbendaharaan kata utama terdiri dari banyak kata
benda dan kata kerja dengan sedikit kata sifat dan keterangan, urutan kata
diperhatikan
|
Kucing makan
|
2
|
27-30
|
2,00-2,50
|
Penggunaan kata jamak, menggunakan past tense, be, kata
depan, beberapa preposisi
|
Sepeda maju cepat
|
3
|
31-34
|
2,50-3,00
|
Menggunakan pertanyaan ya/tidak, kata tanya(apa, siapa,
kapan), kalimat sanggahan dan kalimat berita
|
Ambil gelas itu
|
4
|
35-30
|
3,00-3,75
|
Melekatkan kalimat yang satu ke kalimat yang lain
|
Ini mangga yang ayah petik untukku
|
5
|
41-46
|
3,75-4,50
|
Koordinasi sederhana antar kalimat dan ada hubungan
proposional
|
Terry
dan Abby itu saudaraku
|
Keterangan : MLU bertanda 2,50
menunjukkan bahwa jumlah rata – rata kata pada masing – masing ucapan lebih
banyak dari 2,00 tetapi belum sampai 3,00 karena beberapa pengucapan anak masih
berbentuk holofrase.
Tahap – tahap Brown penting sebagai
indikator perkembangan bahasa yang baik bila dibandingkan semata – mata hanya
berdasar usia mereka.
Membaca
Belajar
membaca pada kelas-kelas awal sekolah dasar adalah salah satu yang terpenting
dari semua tugas perkembangan, karena mata pelajaran lain bergantung pada
membca dan karena dalam masyarakat kita keberhasilan sekolah begitu sering
disamakan dengan keberhasilan membaca. Proses belajar membaca dapat mulai agak
cepat kalau kepada anak-anak dibacakan sesuatu. Riset tentang kemelekhurufan
usia dini (emergent literacy), atau
pengetahuan dan kemampuan anak-anak prasekolah terkait dengan membaca (Glazer
& Burke, 1994; Pressley, 2003), telah memperlihatkan bahwa anak-anak dapat
memasuki sekolah dengan pengetahuan yang banyak tentang membaca dan bahwa
pengetahuan ini mempunyai andil bagi keberhasilan dalam pengajaran membaca
formal.
Kemampuan Menulis
Kemampuan
menulis anak-anak mengikuti urutan perkembangan. Kemampuan ini muncul dari coretan-coretan
dan pertama-tama tersebar acak-acakan di seluruh halaman buku. Karakteristik
ini mencerminkan pemahaman yang tidak lengkap tentang batas-batas kata dan juga
ketidakmampuan menciptakan satu baris dalam pikiran untuk menempatkan
huruf-huruf. Anak-anak menemukan ejaan dengan melakukan penilaian tentang bunyi
dan dengan menghubungkan banyu yang mereka dengar dengan huruf yang mereka
kenal. Dalam mencoba untuk menunjukkan apa yang mereka dengar, mereka biasanya
menggunakan nama-nama huruf alih-alih bunyi huruf; vokal pendek sering
dihilangkan karena tidak langsung berhubungan dengan nama-nama huruf (Snow et
al., 1998). Misalnya, seorang murid taman kanak-kanak menamai gambar dinosaurus
sebagai “DNSR”. Banyak guru mendorong murid taman kanak-kanak dan siswa kelas
satu menulis cerita dengan menggunakan ejaan dicptakan untuk membantu mereka
belajar membaca dan juga menulis (Morrow, 1993).
Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
Guru
bersama-sama mengajak murid-muridnya untuk rajin membaca buku dengan tujuan
mengembangkan kosakata bahasa anak. Mengajak murid-murid membaca perpustakaan
sekolah, melakukan kunjungan di perustakaan kota, dan meminta murid-muridnya
menceritakan ulang isi buku yang telah mereka baca. Latihan menulis dan
mengarang dengan meminta bercerita dalam tulisan setiap setelah ada liburan.
Membiasakan mengerjakan teks buku soal-soal bacaan dan kemudian menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk mengembangkan penguasaan pemahaman
cerita dan bahasa mereka.
F.
Perkembangan Sosial
Menurut Erikson anak-anak bukan hanya
mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan berinteraksi dengan
orang lain dan juga konsep diri. Pemahaman mengenai perkembangan pribadi dan
juga social ini sangat berperan dalam memotivasi, mengajar, dan berinteraksi dengan
siswa. Erikson membagi perkembangan pribadi ndan social ini menjadi delapan
tahap. Erikson berpendapat bahwa orang melewati delapan tahap dalam hidupnya.
Dimasingmasing tahap terdapat maslah-masalah pentng yang harus dihadapi. Dan
banyak orang yang melewatinya dengan memuaskan dan kemudian memulai tantangan
yang baru. Tetapi bagi orang yang tidak berhasil mengatasi masalahnya harus
tetap menghadapinya kemudian dalam hidupnya.
Tahap perkembangan
pribadi dan sosial
Erikson:
Tahap
I : Kepercayaan vs Ketidakpercayaan (Lahir – 18 bulan)
Dalam tahap ini masa bayi bertujuan
untuk mengembangakan kepercayaan dasar. Kepercayaan dasar merupakan rasa
percaya terhadap orang lain. Apabila semua kebutuhan bayi terpuaskan semua maka
akan timbul rasa percaya, namun apabila sang ibu sebagai pemenuh kebutuhan bayi
tidak memberikan kebutuhan bayi maka akan timbul ketidakpercayaan.
Tahap
II : Otonomi vs Keraguan (18 bulan – 3 tahun)
Pada tahap ini anak-anak mulai
berkeinginan untuk memperoleh kekuasaan dan kemerdekaan. Mereka berjuang untuk
memperoleh otonomi. Apabila orang tua fleksibel maka anak akan dapat memperoleh
otonomi, namun apabila orang tua yang terlalu melarang maka akan timbul
keraguan pada anak.
Tahap
III : Inisiatif vs Rasa Bersalah (3 – 6 tahun)
Pada usia ini anak-anak mulai agresif
dan kuat dalam menjajaki dunia sosialnya. Anak mulai memiliki inisiatif yang
besar, yang dapat dibantu oleh orang tua dan juga orang disekitarnya. Apabila
orang tua selalu memberikan hukuman pada inisiatif anak-anak maka akan timbul
rasa besalah.
Tahap
IV : Kerajinan vs Inferioritas (6 – 12 tahun)
Usia ini anak mulai memasuki usia
sekolah, dengan ini dunia sosialnya pun bertambah luas. Guru dn juga
teman-teman memiliki peran penting bagi anak itu, sedangkan peran orang tua
mulai berkurang. Dalamusia ini anak ingin membuat sesuatu, apabila berhasil
maka akan membawa kerajinan dan juga rasa bangga terhadap diri sendiri. Namun
bila mengalami kegagalan maka akan membuat citra negatifbdan rasa
ketidakmemadaian yang dapat menghambat pembelajaran masa mendatang.
Tahap
V : Identitas vs Kebingingan Peran (12 – 18 tahun)
Dalam tahap ini akan timbul banyak
pertanyaan mengenai “siapa saya?”. Remaja mulai menjauhkan diri dari orang tua
dan mulai mendekati kelompok sebayanya. Disini remaja mulai melakukan
eksperimen dengan berbagai peran untuk menemukan siapa diri mereka.
Tahap
VI : Keintiman vs Keterasingan (Dewasa Awal)
Setelah menemukan siapa dirinya maka
mereka sekarang siap membentuk hubungan kepercayaan dan keintimn baru dengan
orang lain. Sedangkan bagi mereka yang tidak mencari keintiman seperti itu akan
menarik diri dalam keterasingan.
Tahap
VII : Daya Regenerasi vs Penyerapan-Diri (Dewasa Pertengahan)
Daya regenerasi adalh sebuah upaya untuk
membentuk dan menuntun generasi berikutnya. Namun apabila mereka tidak tumbuh,
rasa “stagnasi dan pemiskinan
antar-pribadi” terbentuk, yang mengakibatkan penyerapan diri.
Tahap
VIII : Integrasi vs Kepuasan (Dewasa Akhir)
Di dalam tahap ini orang akan kembali
melihat seluruh masa hidupnya. Penerimaan pencapaian, kegagalan, dan
keterbatasan membawa suatu rasa integritas. Namun kematian juga harus dihadapi.
Keputusasaan dapat terjadi dalam diri orang yang menyesali cara mereka
menjalani hidup.
Isu-isu Pendidikan
dalam Sekolah Dasar
Di usia sekolah menurut Erikson
anak-anak mengalami krisis Kerajinan vs Inferioritas. Yang berperan penting
dalam tahap ini adalah guru dan juga teman. Sedangakan kebanyakan di Indonesia
banyak guru yang tidak memahami konsep ini. Sehingga banyak anak yang mengalami
kegagalan dan terciptanya citra diri negatif yang dapat menghambat pembelajaran
masa mendatang. Banyak guru yang sering menghukum anak-anak bila mereka
melakukan kesalahan,
dan itu membuat anak merasa gagal. Namun bila anak-anak yang berhasil maka
mereka akan memperoleh pujian sehingga akan timbul rasa kerajinan dan juga rasa
bangga.
Aplikasi dalam Dunia Pendidikan
Guru mengajak murid-muridnya mengerjakan tugas dengan
membagi kelompok supaya ada interaksi antara murid satu dengan murid yang lain
untuk bekerja sama. Adanya penguatan-penguatan (reinforcement) yang positif kepada anak untuk menumbuhkembangkan
motivasi mereka dan menyatakan bahwa mereka bisa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dunia pendidikan sangatlah erat dengan dunia perkembangan
anak. Dua hal tersebut saling berkaitan dan berhubungan untuk membangun
pendidikan yang baik dan maju. Aspek fisik, kognitif, moral, bahasa, dan sosial
adalah faktor-faktor yang perlu diketahui oleh setiap pendidik untuk
mengembangakan generasi muda yang baik dan berkompeten. Sistem kurikulum dan
metode pengajaran juga tentu akan lebih berhasil jika mengikuti dan
menyeimbangkan dengan aspek perkembangan anak. Aplikasi dan penangkapan
informasi dari para murid pun akan lebih terarah dan jelas. Aspek fisik
menjelaskan bahwa pada perkembangan ini tubuh anak-anak tidak dapat diforsir
namun tetap harus aktif untuk merangsang kebugaran jasmani. Olahraga yang
teratur dapat meningkatkan fisik anak dan kesehatan anak semakin membaik. Aspek
kognitif yaitu berkutat pada kemampuan anak dalam berpikir. Guru harus paham
bagaimana kemampuan dan polo berpikir anak, sehingga guru dapat menyamakan dan
seimbang dalam menyampaikan mata pelajaran. Tidak muluk-muluk dengan bahasa
tingkat tinggi yang berkaitan dengan aspek bahasa. Memberikan contoh konkret
yang ada di lingkungan sekitar kehidupan sehari-hari akan lebih mempermudah
pemahaman murid. Latihan membaca dan menulis harus selalu didorong oleh guru
supaya perrkembangan bahasa anak dapat maksimal. Aspek moral yang dimasukkan
dapat kehidupan sehari-hari belajar mengajar di kelas. Moral tidak hanya
merupakan pelajaran yang hanya ada pada buku, namun juga merupakan pelajaran
kehidupan. Serta aspek sosial, dengan aktif selalu melakukan interaksi dengan
mengelaborasi dan mengevalusi terhadap murid muridnya.
B.
Saran
1.
Adanya
tambahan gerak badan, yaitu senam di pagi hari di setiap sekolah guna
mengembangkan aspek fisik.
2.
Jam
sekolah yang disesuaikan umur murid-murid sehingga tidak terforsir dan daya
tahan tubuh anak tetap kuat dan mampu berkonsentrasi penuh.
3.
Adanya
mata pelajran ketrampilan dan kerajinan tangan untuk mengembangkan aspek
motorik halus anak.
4.
Mengajak
anak-anak untuk melakukan kerja kelompok dan memberikan pekerjaan tumah untuk
mengembangkan aspek perkembangan kognitif anak.
5.
Memberikan
contoh-contoh konkret dari setiap pelajaran yang diberikan supaya anak dapat
menerima informasi dengan baik dan dapat melakukan pemahaman.
6.
Adanya
penanaman nilai-nilai moral yang disisipkan dalam kehidupan kelas.
7.
Guru
aktif mengajak dan mengajari membaca dan menulis.
8.
Guru
aktif mengajak murid-muridnya berinteraksi, baik guru dengan murid atau murid
dengan murid untuk mengembangkan aspek sosialnya. Juga dengan lingkup
masyakarat yang ada disekitar kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
-
Elliot,
SN., Kratochwill, TR. 1999. Educational Psychology Effective Teaching,
Effective Learning. Littlefield.
-
Parsons,
RD, dkk. 2001. Educational Psychology, A Practitioner-Researcher Model of
Teaching. Canada: Thompson Learning Inc.
-
Slavin,
RE. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi Kedelapan. Jakarta:
Indeks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar