Saya sempat mendapat pertanyaan yang sangat bagus dari seorang teman mahasiswa. Penelitiannya menggunakan teknik analisis korelasi produk momen pearson. Hasil analisisnya menyatakan adanya korelasi yang positif dan signifikan.
Masalah muncul ketika ia melakukan kategorisasi subjek ketika menggunakan kriteria hipotetik(lihat catatan kaki no 1). Jumlah subjek dengan kategori rendah dan sangat rendah pada variabel A jauh lebih sedikit daripada subjek dengan kategori rendah dan sangat rendah di variabel B. Keadaannya bahkan lebih dramatis; tidak ada subjek yang berada pada kategori rendah dan sangat rendah di variabel A (lihat tabel
tabel 1.
Hal ini kemudian dipertanyakan oleh
dosen-dosen pengujinya. Apakah hasil analisisnya sudah benar? Asumsinya mungkin
begini: Korelasi yang positif signifikan berarti jika skor subjek pada
variabel A tinggi, maka skor subjek pada variabel B juga tinggi. Dengan
berpegang pada asumsi tersebut, maka jika jumlah subjek dengan skor rendah dan
sangat rendah pada variabel B itu banyak, seharusnya di variabel A juga banyak
subjek masuk kategori rendah dan sangat rendah. Logis bukan? hmm…
Permasalahan ini muncul karena dua asumsi yang keliru bahwa (1) Korelasi yang positif signifikan berarti jika skor subjek pada variabel A tinggi berdasarkan kriteria hipotetik, maka skor subjek pada variabel B juga tinggi pada kriteria hipotetik; dan (2) korelasi signifikan itu berarti hubungan linear sempurna.
Permasalahan ini muncul karena dua asumsi yang keliru bahwa (1) Korelasi yang positif signifikan berarti jika skor subjek pada variabel A tinggi berdasarkan kriteria hipotetik, maka skor subjek pada variabel B juga tinggi pada kriteria hipotetik; dan (2) korelasi signifikan itu berarti hubungan linear sempurna.
Pertama: Interpretasi korelasi bukan seperti yang dituliskan di
atas, melainkan semakin tinggi skor subjek pada variabel A, maka skor
pada variabel B juga semakin tinggi. Apa bedanya? Artinya skor subjek
tidak selalu harus tinggi, tapi jika skor si Budi di variabel A itu lebih
tinggi daripada Wati, maka skor Budi di variabel B juga cenderung lebih tinggi
daripada Wati. Pernyataan ini tidak berbicara mengenai posisi skor Budi
berdasarkan kriteria hipotetik sama sekali. Korelasi berbicara mengenai
konsistensi posisi seseorang dalam kelompok relatif terhadap mean empirik(lihat
catatan kaki 2) pada variabel A dan variabel B.
Jika posisi subjek konsisten (cenderung tinggi pada variabel A dan juga variabel B relatif terhadap mean empirik) maka korelasi akan tinggi dan positif. Jika konsisten terbalik (cenderung tinggi pada variabel A tapi rendah pada variabel B atau sebaliknya, relatif terhadap mean empirik) maka korelasi akan tinggi dan negatif. Jika tidak konsisten korelasinya akan mendekati nol.
Jika posisi subjek konsisten (cenderung tinggi pada variabel A dan juga variabel B relatif terhadap mean empirik) maka korelasi akan tinggi dan positif. Jika konsisten terbalik (cenderung tinggi pada variabel A tapi rendah pada variabel B atau sebaliknya, relatif terhadap mean empirik) maka korelasi akan tinggi dan negatif. Jika tidak konsisten korelasinya akan mendekati nol.
Sebagai bukti penjelasan saya ini
saya sajikan dua grafik. Dalam grafik pertama, garis-garis tipis didasarkan
pada kategorisasi hipotetik, sementara dalam grafik kedua, garis-garis tipis
didasarkan pada kategorisasi empirik.
grafik
1. Kategori Hipotetik
grafik
2. Kategori Empirik
Dalam kedua grafik ini dapat dilihat bahwa ketika
menggunakan kategori hipotetik, data penelitian terlihat seolah-olah tersebar
tidak merata di tiap kategori khususnya ditinjau dari variabel A. Data
mengumpul dalam dua kategori paling kanan. Sementara jika menggunakan kategori
empirik, data penelitian terlihat cukup merata dalam tiap kategori ditinjau
dari variabel A. Situasi ini dapat dibuktikan juga dengan membandingkan tabel 1
di atas yang menggunakan kriteria hipotetik dengan tabel 2 yang menggunakan
kriteria empirik berikut ini:
tabel
2.
Dari sini dapat disimpulkan tidak
ada yang salah dengan hasil analisisnya. Masalah muncul ketika interpretasi
korelasi diterapkan pada kategorisasi hipotetik, sementara korelasi sendiri
dihitung berdasarkan mean empirik.
Hmm… tapi bahkan ketika menggunakan kategori berdasarkan mean empirik sebaran antara kedua variabel tetap tidak sama. Coba lihat pada bagian sedang dan rendah. Pada Variabel B prosentase subjek dalam kategori Sedang 26.2% sementara pada Variabel A mencapai 40.47%. Situasi ini berbalik di kategori rendah, prosentase subjek dengan kategori rendah di Variabel B ada 40.47% sementara di Variabel A 26.19%. Mengapa demikian?
Kedua. Jawabannya terdapat pada kesalahan asumsi kedua: korelasi signifikan itu berarti hubungan linear sempurna. Kesan yang kita tangkap ketika membaca pernyataan “korelasi signifikan” itu seolah-olah sama dengan mengharapkan adanya hubungan linear yang sempurna atau paling tidak sangat tinggi. Kita akan mengharapkan pola sebaran subjek dalam tiap kategori (dalam kategori empirik) akan sama untuk variabel A dan B. Tentu saja tidak demikian. Konsistensi pola sebaran antara variabel A dan B tidak ada kaitannya dengan signifikasi, tetapi dengan nilai korelasi yang didapatkan. Dalam penelitian ini meskipun nilai korelasi yang didapatkan itu signifikan, tetapi nilai korelasinya sendiri hanya 0.34, jadi dapat dibilang tidak terlalu kuat. Lebih jauh lagi, ini berarti kita tidak dapat berharap banyak akan menjumpai pola sebaran yang sangat konsisten antara variabel A dan B. Pola sebaran seperti dalam tabel 2, menurut saya, memang pola yang dapat diharapkan dari angka korelasi sebesar 0.34.
Catatan Kaki
1 Kategori hipotetik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kategori yang dibuat berdasarkan mean hipotetik dan SD hipotetik. Pembuatan kategori hipotetik ini dapat dilihat dalam buku Penyusunan Skala Psikologi yang ditulis oleh Saiffuddin Azwar.
2 Mean empirik mengacu pada mean dari data sampel. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dari mean hipotetik yang berasal dari nilai tengah skala di tiap item dikali jumlah item. Sumber bacaan mengenai mean empirik dan mean hipotetik/teoretik dapat dilihat dalam buku Penyusunan Skala Psikologi yang ditulis oleh Saiffuddin Azwar.
Hmm… tapi bahkan ketika menggunakan kategori berdasarkan mean empirik sebaran antara kedua variabel tetap tidak sama. Coba lihat pada bagian sedang dan rendah. Pada Variabel B prosentase subjek dalam kategori Sedang 26.2% sementara pada Variabel A mencapai 40.47%. Situasi ini berbalik di kategori rendah, prosentase subjek dengan kategori rendah di Variabel B ada 40.47% sementara di Variabel A 26.19%. Mengapa demikian?
Kedua. Jawabannya terdapat pada kesalahan asumsi kedua: korelasi signifikan itu berarti hubungan linear sempurna. Kesan yang kita tangkap ketika membaca pernyataan “korelasi signifikan” itu seolah-olah sama dengan mengharapkan adanya hubungan linear yang sempurna atau paling tidak sangat tinggi. Kita akan mengharapkan pola sebaran subjek dalam tiap kategori (dalam kategori empirik) akan sama untuk variabel A dan B. Tentu saja tidak demikian. Konsistensi pola sebaran antara variabel A dan B tidak ada kaitannya dengan signifikasi, tetapi dengan nilai korelasi yang didapatkan. Dalam penelitian ini meskipun nilai korelasi yang didapatkan itu signifikan, tetapi nilai korelasinya sendiri hanya 0.34, jadi dapat dibilang tidak terlalu kuat. Lebih jauh lagi, ini berarti kita tidak dapat berharap banyak akan menjumpai pola sebaran yang sangat konsisten antara variabel A dan B. Pola sebaran seperti dalam tabel 2, menurut saya, memang pola yang dapat diharapkan dari angka korelasi sebesar 0.34.
Catatan Kaki
1 Kategori hipotetik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kategori yang dibuat berdasarkan mean hipotetik dan SD hipotetik. Pembuatan kategori hipotetik ini dapat dilihat dalam buku Penyusunan Skala Psikologi yang ditulis oleh Saiffuddin Azwar.
2 Mean empirik mengacu pada mean dari data sampel. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dari mean hipotetik yang berasal dari nilai tengah skala di tiap item dikali jumlah item. Sumber bacaan mengenai mean empirik dan mean hipotetik/teoretik dapat dilihat dalam buku Penyusunan Skala Psikologi yang ditulis oleh Saiffuddin Azwar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar