Senin, 24 November 2014

hubungan akal dan wahyu



Orang dapat menjalankan agama dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu, seperti Hadits Nabi Muhammad SAW, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.

Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang, yang hanya mempunyai naluri saja, seperti telah dikemukakan dalam No.1. Pada binatang tidak ada kekuatan lain di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah dengan sebaik-baik bentuk kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari binatang. Menurut Hadits pada waktu Rasulullah Isra, beliau menunggang buraq dituntun oleh Jibril. Secara tekstual itu benar-benar seperti demikian. Namun di samping pemahaman tekstual itu, dapat pula kita mentakwilkan konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq itu. Yakni mengandung pula simbol/ibarat yang sangat relevan bagi konfigurasi antara wahyu, akal dengan naluri, yaitu wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri. Bahkan lebih dari itu, Rasulullah menunggang buraq dituntun oleh Jibril merupakan pula isyarat dari Allah SWT bahwa itu akan diproyeksikan dalam kenyataan sejarah, satu setengah tahun kemudian setelah Isra, yaitu peristiwa hijrah: Rasulullah menunggang unta dituntun oleh Abu Bakar Ashshidiq RA. Jadi dalam memahamkan Al Quran maupun Al Hadits dalam mempergunakan akal tidaklah boleh mempertentangkan ketiga hal ini: tekstual, takwil dan isyarat.

Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, maka manusia didorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan identitas dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam mengatur tatacara peribadatan yang 'ubudiyyaat (mahdhah) untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang 'ubudiyyaat inilah yang identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat ketat: semua tidak boleh, kecuali yang digariskan oleh Nash (Al Quran dan Hadits), mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang mengenai tempat (ibadah Haji). Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam istilah populernya ialah ibadah yang ritual. Shalat Maghrib misalnya sudah ditetapkan tiga rakaat. Akal tidak boleh berpikir demikian: Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat supaya pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana, berapa dan di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, misalnya pertanyaan seperti berikut: Mengapa puasa wajib diperintahkan dalam bulan Ramadhan?

Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara sesamanya manusia. Manusia adalah makhluk bermasyarakat. Syariat Islam juga mengatur pokok-pokok peribadatan yang mu'alamaat untuk manusia sebagai makhluk sosial. (Ibadah adalah segenap aktivitas kita untuk mewujudkan nilai-nilai kebenaran utama yang mutlak menurut Al Quran dalam kehidupan kita sehari-hari, berlandaskan aqiedah yang benar, dikerjakan dengan ikhlas, mengharapkan ridha Allah SWT semata, mulai dari tiang yaitu shalat hingga kepada pucuk membuang beling dari tengah jalan. Jadi lebih luas pengertiannya dari bahasa-bahasa barat: religion, religie, godsdienst). Peribadatan yang mu'amalaat ini adalah Syariat yang tidak ketat, sifatnya terbuka: semua boleh, kecuali yang dilarang oleh atau tidak bertentangan dengan Nash, yang berupa aturan-aturan pokok Syariat Islam yang mu'amalaat. Sebagai contoh adalah pemakaian bedug di mesjid dan pengambilan keputusan politik, seperti dijelaskan di bawah.

Kalau pemakaian bedug itu diniatkan sebagai persyaratan untuk azan, maka ia menjadi sub sistem dari peribadatan ubudiyyah yang ketat. Jadi tidak boleh, karena Rasulullah tidak pernah menyuruh pukul bedug di mesjid. Akan tetapi jika pemukulan bedug itu diniatkan hanya sebagai sarana untuk interaksi sosial, yang fungsinya seperti loud speaker, maka ini masuk dalam Syariat muamalah yang tidak ketat, semua boleh kecuali yang dilarang oleh atau tidak bertentangan dengan Nash. Junjungan kita Nabi Muhammad SAW hanya pernah melarang pemakaian lonceng di mesjid, sedangkan bedug tidak pernah dilarang, jadi bedug boleh dipakai.

Karena Syariat yang mu'amalaat ini hanya diberikan pokok-pokoknya saja, maka hal-hal yang mendetail dipikirkan oleh akal manusia. Dalam mengambil keputusan politik orang bebas melakukan bagaimana prosesnya, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pokok Syari'at, yaitu 42:38 syura- dan ulil amri minkum, bermusyawarah di antara ulil amri (wali yang diberi kuasa) minkum (yang berasal dari kamu, maksudnya penduduk atau rakyat yang beragama Islam, sebab yang non-Muslima tidak mungkin tahu dan merasakan apresiasi seorang Muslim). Apakah dalam menentukan ulil amri minkum itu boleh melalui Pemilu? Karena tidak ada disebutkan dalam Nash larangan melakukan Pemilu dalam menentukan ulil amri minkum, maka Pemilu itu boleh-boleh saja.(*)

Demikianlah hal-hal yang mendetail diserahkan kepada ijtihad para pakar yang ahli dalam substansi yang terkait. Olah akal berupa ijtihad ini sifatnya situasional, akibat hasil pekerjaan akal yang relatif. Namun hasil akal yang situasional itu merupakan rahmat Allah, jika akal itu penggunaannya dibatasi oleh aturan-aturan pokok Syariat Islam yang mu'amalaat. Dalam Syariat yang muamalaat ini akal lebih bebas, yaitu boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa mesti demikian, apa hikmahnya, sepanjang substansi itu terletak di atas paradigma aturan-aturan pokok Syariat yang mu'amalaat. WaLlahu a'lamu bishshawab.
-------------------------------
(*)
Demikianlah ajaran Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan akhlaq, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual (mahdhah), karakter perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq.

Semua substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu. Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar