Dengan modal Rp 1,4 juta itu, satu peternak akan mendapat 10 kotak
sarang seharga Rp 10.000 per kotak, telur 4 ons, pakan 120 kg dan beban
oven Rp 50.000. Namun sayangnya, peluang ini belum cukup mendapat
perhatian, sehingga para pengusaha pakan ternak dan jamu, harus menunggu
mendapatkan jangkrik kering atau bubuk dari Astrik.
Ika Nurwidia (23), manager pemasaran Astrik, sempat mengeluh. Dari
700 peternak yang tergabung di asosiasinya, hanya bisa dikumpulkan
sekitar 2 ton per minggu. Satu pabrik pakan ternak di Jawa Timur, bisa
memesan 50 ton dalam satu minggu. Pengusaha pakan ternak tertarik untuk
mengubah pola produksi mereka dengan bahan jangkrik disebabkan oleh
mahalnya bahan impor.
Dari pada untuk membeli tepung babi dari luar negeri dengan harga US$
370 per ton, lebih baik tepung jangkrik yang lebih murah. Dari Astrik,
tepung jangkrik hanya dijual Rp 150 juta per ton. Berdasar penelitian
ilmiah, jangkrik memiliki kandungan hormon progesterone 105,49 ppm,
testoteron 31,78 ppm dan hormon estrogen 259,535 ppm. Bahkan mampu
menghasilkan sumber energi 4,87 kalori per gram jauh diatas bahan
makanan lainnya.
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
Purwokerto, Jawa Tengah, yang ditunjuk Astrik sebagai Litbang, juga
menyelidiki bahwa jangkrik memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi.
Kandungan proteinnya mencapai 57,32 persen. Selain itu si krik-krik ini
juga memiliki senyawa kimia seperti asam amino yang sangat dibutuhkan
dalam proses pembentukan sel, GSH (glutation) dan berfungsi sebagai
antioksidan alami pada tubuh manusia.
Tak ayal lagi, jenis-jenis kandungan bahan itu, membuat jangkrik
banyak diburu untuk kepentingan industri baik industri pakan ternak,
jamu maupun kosmetik. Sebenarnya pengembangan peternakan jangkrik sudah
dimulai sejak tahun 1990-an. Namun waktu itu jangkrik hanya dijadikan
komoditas pakan hewan dan dipasarkan di pasar tradisional. Tahun 2000
booming jangkrik sempat terjadi. Sampai-sampai pasar tradisional tidak
mampu menampung panenan ribuan peternak jangkrik.
Akibat dari belum tersedianya pasar itu, peternak banyak yang
frustasi. Namun bagi Ika Nurwidia dan empat rekannya Ari Hidayat, Fitri
Darsini, Pandu dan Bagus Sigit Panuntun, jangkrik adalah permata yang
belum digosok. Dan itu terbukti ketika Ika, dengan Astrik membuat
gebrakan. Pertama dengan penelitian, kedua dengan mencari pasar, selain
pakan burung di pasar tradisional itu.
Pada tahun 2004, jangkrik ini lantas dibudidayakan. Ika Nurwidia
dengan empat pelopor Astrik berpatungan Rp 3 juta per orang. Kerja keras
itu ternyata membuahkan hasil. Kini permintaan membanjir, bahkan selalu
bertambah. Ika menyadari bahwa kemampuan Astrik masih sangat terbatas.
”Tetapi bukan prosesnya, kami siap membeli semua hasil peternak kapan
saja. Tapi ya itu, masih kurang banyak sekali,” katanya.
Jangkrik-jangkrik yang dibudidayakan di dalam kotak. Beternak jangkrik ternyata cukup menguntungkan
Tapi jangan salah, asosiasi ini ternyata tidak mau menerima sembarang
jangkrik. Ika dan kawan-kawannya, mensyaratkan bahwa peternak yang
menjual ke Astrik, harus anggotanya.
Mengapa harus begitu? Ika menjelaskan, Astrik harus memenuhi standar
kualitas yang telah ditentukan, misalnya panjangnya minimal 2 cm,
berumur tak lebih 40 hari serta harus sehat. Untuk itu, setiap peternak
yang menjadi anggota Astrik wajib memberi makanan jangkriknya dengan
pakan yang diolah oleh Astrik sendiri. Pakan itu sudah diolah dengan
kandungan mineral, protein dan vitamin yang mampu menjaga kesehatan
jangkrik.
Selain itu, Astrik pun tak mau menerima jangkrik yang berumur di atas
40 hari. Ternyata cukup beralasan, sebab di umur itu jangkrik dewasa
sudah bertelur dan ketika proses pengovenan, jangkrik menjadi kempes.
”Peternak hanya memberi makanan pendamping seperti jagung, kacang hijau,
obat antioksidan, dan antibiotik,” kata Ika.
Dikatakan, Astrik akan membeli jangkrik dari anggotanya seharga Rp 30
ribu per kg untuk jangkrik basah, dan jika peternak sudah mampu
mengeringkan dengan sistem oven, harga pembelian menjadi Rp 96 ribu per
kg. Namun asosiasi ini menjual jangkrik bubuk seharga Rp 150 ribu per
kg.
Terkait dengan kurangnya bahan baku itu, Astrik akhirnya bekerja sama
dengan Pemda Lamongan, Jawa Timur untuk menambah jumlah peternak.
”Jangan takut, pasar jangkrik masih terbuka luas. Apalagi beberapa
rekanan kami, pengusaha jamu di Jawa Barat, masih terus meminta bubuk
jangkrik tanpa batas,” ucapnya.
Sambil sedikit berpromosi, Ika dengan Astriknya yang bermarkas di
Jalan Pakaryan 5 Yogyakarta itu menyatakan, jangan takut dengan si
krik-krik. Peluangnya masih terbuka lebar. ”Sekarang daripada berpangku
tangan, meminta pekerjaan, mengapa tidak mencoba. Si krik-krik ini ramah
lingkungan. Tidak ada limbah kotoran dan tidak berbahaya,” katanya
berpromosi.
Saya minta no hp-nya sukur yang telkomsel
BalasHapusdari Virgananto Wonosobo
apakah asrik masih eksis sampe sekarang ? adakah kontak yg bisa dihubungi ?
BalasHapus